Kamis, 22 Maret 2012

Anak Jalanan Menyemai Harapan

“Silakan, Bu. Ada lagi yang ingin ditanyakan?” kata Widi, pemuda berusia 21 tahun, setelah ia menerangkan cara-cara bertani organik. Ia begitu fasih menjelaskan bagaimana membuat pupuk kompos, menerangkan mengapa wortel harus disandingkan dengan daun bawang. “Ini supaya mereka saling menjaga, karena hama wortel tidak suka dengan daun bawang sehingga akan menjauh,” tuturnya.

Mendengar cara Widi menjelaskan seluk-beluk pertanian organik, kita tak akan menyangka bahwa ilmu selengkap itu bisa ia dapat dalam waktu empat bulan. Widi boleh dibilang beruntung karena berkesempatan mengenyam pendidikan dalam program “The Learning Farm” yang diselenggarakan Yayasan Karang Widya, di Desa Ciherang, Cianjur, Jawa Barat.

Program ini diperuntukkan bagi para pemuda yang rentan, yang berasal dari jalanan, daerah konflik, kantong-kantong kemiskinan, dan yang tak memiliki akses pekerjaan.

Widi yang kini sedang dilatih menjadi fasilitator sekaligus mentor bagi adik-adiknya yang kini menjalani program sebagai angkatan ke-13 berasal dari sebuah panti asuhan di Semarang. Ia lulus SMK jurusan teknik pertanian, namun belum memiliki akses pekerjaan. Ia bercerita bagaimana ia beradaptasi dengan anak-anak muda dari berbagai latar belakang sosial.

“Kami belajar tentang kehidupan. Saya beragama Kristen, berasal dari panti asuhan yang penghuninya satu agama. Di sini, saya bertemu teman-teman yang berbeda agama. Kita belajar menghormati mereka. Misalnya, saat teman-teman salat, kita tidak boleh ribut, TV harus dimatikan,” katanya, Selasa (20/3).

Ia juga menjelaskan perdebatan tetap ada, tapi tidak sampai terpancing emosi. “Kita nggak ambil negatifnya. Kita nggak saling menyinggung,” katanya.

Widi mengatakan ia belajar dari seorang temannya yang dulu seorang anak jalanan, yang sikapnya brutal dan juga alumnus program ini. “Sekarang ia bisa mengajari orang bagaimana menghadapi orang-orang yang berbeda prinsip. Kalau dia bisa, kenapa saya tidak bisa,” tuturnya.

Tak hanya Widi yang bisa memberi penjelasan. Saat berkeliling lahan pertanian, kami bertemu Slamet yang selalu tersenyum, menjelaskan bagaimana ia menyemai tumbuhan.

Ada juga Emanuel, pemuda asal NTT, yang sedang memanen sawi dan daun bawang. Pemuda ini diutus lembaga gereja di wilayahnya untuk mempelajari cara-cara bertani organik. Kelak, ia akan menjadi fasilitator di daerah asalnya dan menularkan ilmu yang didapatnya di sini.

Perubahan Perilaku

Menurut Pandriono, program manager The Learning Farm, anak-anak didiknya memang diajarkan untuk berani berbicara dan selalu diserahkan tanggung jawab untuk memandu setiap tamu yang datang berkunjung. Karena itu, jangan heran jika mereka tak sedikit pun minder saat berhadapan dengan tamu darimana pun, bahkan anak-anak sekolah internasional.

Mendidik anak-anak yang rentan seperti mereka bukan hal yang mudah, terutama karena mereka berasal dari latar yang beragam, baik agama maupun pendidikan, dengan berbagai persoalan sosial. Karena mereka berasal dari latar pendidikan yang berbeda, metode pembelajaran yang diterapkan pun tidak serupa dengan pendidikan formal.

“Di sini, teori dan praktik masing-masing 50 persen. Kalau tidak cukup, ada diskusi-diskusi informal untuk mengejar ketertinggalan anak-anak yang kurang,” kata Pandriono.

Meski keahlian bertani organik pelajaran pokok di asrama ini, ukuran utama pencapaian adalah perubahan tingkah laku. “Di sini kan ada anak gang motor, ada pengguna narkoba tapi bukan yang berat. Setiap hari, mereka ikut apel pagi. Ada pengakuan dosa,” ujarnya menambahkan.

Perubahan perilaku ini juga ternyata bisa terjadi saat mereka mempelajari proses pertanian organik. Menurut Zahra, PR The Learning Farm, secara filosofis, pertanian organik digunakan sebagai metode terapi karena menghubungkan para peserta muda dengan etika organik.

Cara bertani ini menghubungkan mereka dengan lingkungan tempat mereka hidup sebagai bagian dari sistem ekologi, mempersiapkan masa depan yang bertanggung jawab dengan mempertahankan kebaikan tanah, serta latihan kesabaran melalui perawatan tanaman yang membutuhkan ketekunan dan ketelitian. “Pertanian organik juga tidak membunuh hama dan musuh tanaman, melainkan mengusirnya dengan cara alami,” katanya.

Memang tak semua siswa bisa diubah perilakunya. Ada siswa yang harus dipulangkan ke daerah asal karena masih mengonsumsi minuman keras. “Kita tidak menoleransi hal itu,” kata Retno Yuli Christyawati, Koordinator Pemasaran.

Mengubah sikap dan perilaku itu, kata Retno, membutuhkan kesabaran dan ketelitian. “Di sini bukan karantina. Setelah pukul 16.00 mereka merdeka. Baru masuk lagi ke asrama pukul 21.00 malam. Meski begitu, ada pengawasan dari satpam hingga ketua RT di sini,” tutur Retno.

Dalam program ini, anak-anak didik tidak hanya diajarkan perawatan taman hingga panen, tapi juga bagaimana memasarkan produk dan menghadapi keluhan konsumen. “Saya mengajarkan kejujuran. Sepeser pun tak boleh hilang,” kata Retno. Dengan berbekal kejujuran, seorang anak didik The Learning Farm bisa mendapatkan posisi yang dipercaya atasannya.

Dengan metode pembelajaran seperti ini, kelak Erianto yang saat ini baru belajar selama sebulan tampaknya bisa memenuhi keinginannya membahagiakan orang tuanya.

Anak berusia 15 tahun ini dikeluarkan dari sekolahnya karena ikut menghancurkan sebuah bus. Tapi, ia yang tak lagi beribu dan kerap diabaikan ayahnya ini masih menyimpan cita-cita. “Saya ingin mandiri,” katanya.

Ada pula Priyanto yang lulus SMP pada 2006 tapi tak melanjutkan sekolahnya karena kekurangan biaya, bisa mewujudkan keinginannya menjadi guru. Ia dulu adalah seorang anak jalanan yang tak suka bertani meski orang tuanya punya sedikit lahan. Ia lebih suka bekerja sebagai kuli bangunan, atau mengamen untuk membeli makanan atau rokok.

“Kalau ada band manggung, saya ngumpulin duit buat nonton,” katanya. Tapi kini ia sudah bisa berkata bahwa hal-hal semacam itu tak lagi ada gunanya. “Yang penting sekarang adalah masa depan. Saya ingin memanfaatkan lahan orang tua. Moga-moga bermanfaat,” katanya.

Untuk mendukung cita-cita anak-anak tersebut, Charity Premiere 'The Lady'” akan digelar di Studio 21 Epicentrum, Kuningan, Jakarta, Minggu (25/3). Dalam kesempatan itu, Michelle Yeoh yang berperan sebagai Aung San Suu Kyi akan hadir mendukung pengumpulan dana bagi kegiatan The Learning Farm ini.

Penulis : Ida Rosdalina ; http://m.sinarharapan.co.id/index.php?id=227&tx_ttnews[tt_news]=87736&cHash=8edd6250fbe9d449a3f8757e4c01b4d4