Selasa, 04 Maret 2014

Makna Syari'at



Dalam makna syariat, umat Islam sering terjebak dalam pengertian sempit sehingga tak jarang kehilangan substansinya. Dan akibatnya, mereka hanya melakukan ibadah seremonial dan tidak mendapatkan sesuatu yang berharga yakni pembuka jalan menuju "kebenaran syariat". Sikap terhadap shalat misalnya, betapa banyak nilai penghayatan dan kekhusyu'an yang terabaikan. Shalat bukan lagi sebagai kebutuhan dialog dan memohon petunjuk tetapi telah berubah sebagai kewajiban yang harus dipenuhi dengan berbagai macam larangan dan ancaman yang mengerikan. Sehingga terasa sekali muncul ketidaknyamanan dalam setiap melakukan syariat Islam. Hal ini tidak ubahnya tawanan perang yang harus memenuhi kewajiban membayar upeti seraya terbayang betapa kejamnya sang penguasa.
Belum lagi dalam melaksanakan petunjuk Al Qur'an yang terasa dikejar target syarat sahnya syariat selain hitung-hitungan amal, dan jarang mengarah pada pemahaman akan fungsi syariat itu sendiri. Setiap syariat (aturan Allah) merupakan jalan dengan segala rambu-rambunya menuju hikmah yang dikandung di dalam teks dan praktek secara sempurna, serta pembuka tabir dibalik "firman". Syariat bukan hanya untuk dibaca dan disucikan tanpa menyentuh isi tujuan yang dibaca, seperti tercantum dalam surat Al Alaq 1-5 :
"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah! dan Tuhanmu yang paling pemurah. Yang telah mengajar manusia dengan perantara kalam. Dia telah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya".
Memang, Al Qur'an adalah firman Allah yang disucikan sehingga memegangpun harus suci dari hadast, namun hal ini bukan berarti haram bagi manusia untuk memahami sesuai dengan kadar pemikiran dan pemahamannya. Sebab Al Qur'an itu diturunkan sebagai petunjuk manusia dan semesta alam. Sikap jumud (pendek akal) ini pun pernah diprotes RA Kartini pada gurunya, KH Sholeh Darat, ketika ia mengusulkan agar Al Qur'an itu diterjemahkan. Saat itu, ia merenungkan kondisi bangsa Indonesia yang mengalami kemunduran pemikiran. Bagi Kartini, Al Qur'an yang begitu agung tidak hanya bacaan suci yang berpahala dan pengobat hati saja, namun ia merupakan petunjuk hidup di dunia maupun di akhirat. Menurutnya, andai Al Qur'an sudah diterjemahkan waktu itu, insya Allah bangsa Indonesia akan sadar pada integritasnya sehingga tidak akan mau menjadi budak Belanda.
Kata "iqra" merupakan jendela untuk melihat kehidupan alam semesta yang luar biasa luasnya. Ayat ini menyiratkan makna, betapa Al Qur'an membuka cakrawala dunia ilmu (pengetahuan) yang dapat digali melalui kata 'baca'. Sejarah dunia pun mengakui bahwa pada abad ke tujuh Islam telah mengalami masa kejayaan dan peradaban yang pesat. Islam telah berhasil mengembangkan khazanah landasan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga sampai abad ketigabelas dilakukan secara terus-menerus penggalian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang kelak dijadikan landasan ilmu pengetahuan modern. Bisa dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh barat yang baru dimulai pada permulaan abad 15 sampai sekarang.
Dengan bersyariat secara benar, Islam mengalami kemajuan di bidang ilmu pengetahuan secara pesat. Dengan meningkatnya pengetahuan, kita mengenal sifat dan perilaku alam, gejala-gejala alamiah yang komplek atau musykil dapat kita terangkan dan uraikan menjadi gejala-gejala yang lebih sederhana yang mudah kita ketahui. Dari sini muncul teori untuk menerangkan suatu gejala, ataupun teori yang disusun untuk meramalkan gejala yang akan terjadi bila diadakan suatu percobaan tertentu dalam laboratorium. Kemudian dilakukan eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Begitu seterusnya, hingga sains natural tumbuh dan berkembang terus dari hasil serangkaian kegiatan kaji-mengkaji secara struktural dan sistematis silih berganti (disebut intizhar). Hal tersebut hanya dapat terjadi dalam suatu generasi yang begitu gigihnya melakukan intizhar (penelitian) atas dasar keislaman yang terkandung dalam Al Qur'an.
Dan bukan dengan cara disucikan dalam makna yang keliru sehingga muncul kerancuan ilmu pengetahuan yang diakibatkan oleh penyampaian tentang Islam yang tidak Islami. Akibatnya bisa kita lihat dan rasakan sekarang bagaimana kebanyakan orang menganggap belajar fisika, biologi, kimia dan ekonomi bukan ilmu Islam. Mereka antipati dengan ilmu dunia yang dianggap bukan berasal dari Al Qur'an, dan mereka hanya kenal tentang Islam sebagai musabaqoh Al Qur'an, haji, zakat, dan shalawat nabi serta upacara-upacara seremonial, berikut segala larangan dan ancaman, amalan dan ganjaran, tidak lebih dari itu, dan selain itu ditolak habis.
Para cendekiawan barat mengakui bahwa Jabir Ibnu Hayyan (721-815) adalah orang pertama yang menggunakan metode ilmiah dalam kegiatan penelitiannya di bidang alkemi yang kemudian oleh ilmuwan barat diambil alih serta dikembangkan menjadi apa yang kita kenal sekarang sebagai ilmu kimia. Sebab Jabir yang namanya dilatinkan menjadi Geber adalah orang yang telah melakukan intizhar dan merupakan orang pertama yang mendirikan suatu bengkel dan mempergunakan tungku untuk mengolah mineral-mineral dan mengekstraksi menjadi zat-zat kimia dan mengklasifikasikannya.
Di dalam sejarah ilmu pengetahuan yang ditulis oleh sarjana Eropa disebutkan bahwa Mohammad Ibnu Zakaria ar-Rozi (865-925) telah menggunakan alat-alat khusus untuk melakukan proses-proses yang lazim dilakukan ahli kimia seperti distilasi, kristalisasi, kalsinasi dan sebagainya. Buku Ar-rozi, yang namanya dilatinkan menjadi Razes, dianggap sebagai manual atau buku pegangan laboratorium kimia yang pertama di dunia, dan dipergunakan oleh para sarjana barat, yang baru berabad-abad kemudian mempelajari sains yang telah dikembangkan oleh umat Islam, di universitas-universitas Islam di Toledo dan Cordoba, Spanyol.
Terlalu banyak ilmuwan Islam dan karya mereka untuk disebutkan pada kesempatan ini, dan begitu dalam pula pengaruh terhadap karya tokoh-tokoh ilmiah itu di Eropa dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan hingga masih dirasakan berabad-abad kemudian. Apakah sebabnya pada masa dahulu umat Islam giat sekali mengembangkan Islam secara mendalam baik dalam bidang hukum, filsafat, sains, maupun tasawuf. Namun sebaliknya apakah yang kita lihat dan rasakan pada masa sekarang di abad ke dua puluh satu ini? Di pesantren-pesantren serta perpustakaan-perpustakaan Islam hanyalah tersisa berupa kitab lusuh klasik yang "dikeramatkan" dan "dikomersialkan" seperti imriti matan, jurumiah, bulughul marom, madzahibul arba'ah yang kesemuanya itu pelajaran-pelajaran tata bahasa arab belaka serta ilmu-ilmu fiqih yang sudah dipatenkan. Pintu ijtihad ditutup!!
Sesungguhnya di dalam Al Qur'an banyak diperoleh ayat yang mendorong umat Islam untuk melakukan intizhar dan menggunakan akal pikiran seperti tercantum dalam ayat 101 surat Yunus memerintahkan :
"Katakanlah (hai Muhammad) perhatikanlah dengan intizhar/nazar apa-apa yang ada di langit dan di bumi".
Bahkan dalam ayat 17-20 surat Al Ghasiyah dipertanyakan :
"Maka apakah mereka tidak melakukan intizhar dan memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan. Dan langit bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung bagaimana ia didirikan. Dan bumi bagaimana ia dibentangkan. Maka berikanlah peringatan karena engkaulah pemberi peringatan".
Penggunaan akal pikiran untuk dapat mengungkapkan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah ditegaskan dalam surat An-Nahl 11 :
"Dia menumbuhkan bagimu dengan air hujan itu, tanaman zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan ayat-ayat Allah (tanda-tanda kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berfikir."
Yang kemudian dilanjutkan dalam ayat 12 :
"Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan dengan perintah-Nya. Sesungguhnya dalam gejala-gejala itu terdapat ayat-ayat Allah bagi orang-orang yang menggunakan akal"
Sebenarnya didalam ayat ini tercantum juga ungkapan bahwa Allah menundukkan dan mengatur perilaku matahari, bintang, dan bulan dengan perintah-Nya. Peraturan Allah inilah yang diikuti oleh seluruh alam semesta beserta isinya, bagaimana ia harus bertingkah laku. Yang kemudian oleh manusia disebut sebagai hukum alam, atau peraturan yang diikuti oleh alam.
Lebih jelas lagi kita baca surat Fushilat ayat 11 :
"Kemudian dia mengarah kepada langit yang masih berupa kabut lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi:"Silahkan kalian mengikuti peritah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". Jawab mereka :"Kami mengikuti dengan suka hati".
Ayat ini membuktikan bahwa alam taat mengikuti segala peritah dan peraturan sang pencipta, termasuk apa yang disebut alam pada diri manusia (mikrokosmos), termasuk segala yang ada dalam tubuh kita seperti detak jantung, darah mengalir menghantarkan nutrisi ke seluruh jaringan tubuh, nafas menghembus tanpa kita perintahkan yang semuanya bergerak diluar kehendak kita. Semua serba teratur dan tunduk patuh kepada peraturan-peraturan yang ditetapkan, mereka bekerja dalam ketetapan dan fungsinya masing-masing. Namun demikian manusia tetaplah manusia yang selalu saja tidak pernah bersukur dan menyadari bahwa semua itu adalah karunia Allah yang maha pemurah, dan tetap saja kebanyakan manusia mengingkari hal itu semua sebagai rahmat-Nya. Walaupun seluruh instrumen tubuh manusia itu sesungguhnya ikut dalam peraturan Islam yang merupakan ketetapan Allah.

Tidak Ada Pacaran Islami (Between Myth and Fact)

Pacaran sebuah kata yang sangat menarik untuk dibicarakan. Sekan tak ada usainya, sepanjang roda dunia ini masih berputar. Pro-kontra mengenainya pun sudah ada sejak pacaran itu sendiri ada, yang menurut saya sudah ada sejak diciptakannya Hawa –ibu bangsa manusia. Adalah hal yang wajar bagi generasi muda untuk selalu ingin tahu tentang segala sesuatu, bahkan akan menjadi aneh bila orang muda tidak ingin banyak tahu. Demikian juga tentang pacaran, generasi muda Islam saat ini pun seringkali menanyakan hal pacaran. Namun kebanyakan yang ditanyakan adalah mengenai fikih pacaran. Intinya kebanyakan mereka bertanya, “Sebenarnya boleh tidak sih, pacaran itu?�? atau, “Ada tidak sih pacaran yang Islami itu?�? dan pertanyaan lain yang senada. Jawaban sang ustadz pun berbeda-beda. Ada yang dengan keras melarang dengan mengatakan “Pacaran itu haram!�? ada juga yang agak “remang-remang�? boleh lah asal tidak kebangetan. Namun saya sangat tertarik dengan jawaban Ustadz Wijayanto mengenai pertanyaan ini. Beliau menjawab pertanyaan itu dengan jenaka dan diplomatis, “Dalam Islam tidak ada larangan maupun anjuran untuk berpacaran. Tidak ada dalil yang mengatakan ‘wala pacaranu inna pacaranu minassyayatiin’ atau ‘fapacaranu, inna pacaranu minattaqwa’ .�? Saya sepakat mengenai hal ini, karena memang pacaran itu sendiri tidak jelas definisinya. Cobalah Anda tanya pada beberapa anak SMP atau SMA dari berbagai komunitas dan kelompok. Pasti akan muncul berbagai definisi berbeda mengenai pacaran. Ada yang bilang pacaran itu jalan bareng sama seseorang yang kita cintai dan mencintai kita. Wah berarti jalan bareng sama bapak ibu juga pacaran dong? Yang lain bilang pacaran itu menyepi, ngobrol berduaan dengan kekasih hati. Nah yang ini malah sering dilakukan sama Pak Ustadz dan santri-santrinya saat sepuluh hari terakhir Ramadhan, alias iktikaf. Ada juga yang bilang pacaran itu ketemu dengan orang yang kita cintai, entah rame, entah sepi, pokoknya ketemu trus ngobrol, bertukar pikiran, atau diskusi. Naah… yang ini malah mirip acaranya anak-anak TSC* saban sore tuh! Sementara yang lain bilang pacaran itu jalan bareng, makan, atau nonton, atau shopping di mall bareng kekasih hati. Yaaa… yang ini sih acaranya anak borju, kelaut aje…. So, karena gak ada definisi jelas tentang pacaran, maka hukum pacaran sendiri jadi gak bisa begitu saja diputuskan. Kata Dr. Yusuf Qardhawi jangan mudah mengharamkan sesuatu, apalagi yang belum jelas definisinya. Nah, sekarang coba kita rumuskan definisi umum pacaran, alias akan adakah benang merah yang dapat kita tarik dari timbunan terigu kebingungan kita. Atau tepatnya, kita mencoba mencari irisan dari semua himpunan definisi yang tadi udah kita cari, yang ternyata jumlahnya banyak dan beda-beda semua. Akan saya coba rumuskan bahwa pacaran itu adalah interaksi antara dua orang manusia berbeda jenis kelamin yang saling mencintai sebelum menikah. Karena dari berbagai definisi tadi yang cukup mewakili untuk disebut sebagai irisan adalah kata interaksi, saling mencintai dan berlainan jenis kelamin, serta belum menikah. Atawa kita sebut aja interaksi pra-marital dengan dasar saling ketertarikan atau saling mencintai. Nah dengan definisi ini akan mudah bagi kita untuk mengetahui hukum pacaran itu, atau adakah pacaran yang Islami itu. karena sekali lagi dalam Islam tidak pernah diatur, atau ada dalil yang melarang “pacaran�?. Yang ada dalam Islam adalah aturan-aturan dalam berinteraksi dengan manusia. Bagaimana kita berinteraksi dengan orang tua, dengan teman, guru, Nabi, semua ada aturannya dalam Islam. Interaksi yang sesuai dengan kaidah Islam berati Islami, sementara yang tidak sesuai adalah tidak Islami. Dengan definisi dasar bahwa pacaran itu adalah interaksi dan saling mencintai, maka pacaran secara dasar hukum adalah netral. Karena interaksi dalam Islam itu adalah netral, akan tergantung bentuknya. Sementara tidak ada larangan bagi umat Islam untuk mencintai lawan jenisnya. Dengan demikian sekali lagi pacaran adalah netral, tergantung bagaimana kita melakukannya. Dengan netralnya pacaran, berarti pula ada pacaran yang Islami dan ada pacaran yang tidak Islami. Lebih lanjut lagi jika kita tinjau dari segi asal kata, pacaran berasal dari kata dasar “pacar�?, yang artinya kurang lebih adalah seseorang –lawan jenis tentunya- yang kita cintai namun belum menikah dengan kita. Maka semakin jelaslah bahwa pacaran itu adalah netral. Karena sekali lagi bahwa mencintai seseorang lawan jenis adalah tidak terlarang dalam Islam. Seperti kisah Umar bin Abu Rabi’ah tentang seorang pemuda Arab yang lagi jatuh cinta, yang dilukiskan dengan begitu indah di dalam buku “Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu�?, yang terkenal itu. Baca sendiri dah kisahnya, gak kalah romantis sama kisah Romeo dan Juliet yang fiksi itu. Selanjutnya pula berati pernyataan bahwa tidak ada pacaran Islami, atau tidak ada pacaran dalam Islam itu kurang tepat. Atau lebih tepatnya, adalah sepihak pernyataan yang menyatakan tidak ada pacaran Islami itu, karena setelah kita kaji lebih lanjut, ternyata kata pacaran itu sendiri bersifat netral, seperti halnya seni. Seni dalam Islam adalah netral, tergantung bagaimana kita melakukannya, bisa jadi seni itu haram, ketika seni tersebut tidak sesuai kaidah Islam, namun juga sebaliknya. Namun kemudian muncul pandangan baru yang menyatakan tidak boleh mencintai lawan jenis sebelum menikah! Sebuah pernyataan yang agak naif dan sulit untuk dibenarkan. Selain tidak ada dalil naqli-nya, juga sangat lemah dalam logika manusiawi. Sederhana saja, Nabi memerintahkan kita “Wanita-wanita dinikahi karena kecantikannnya, hartanya, nasabnya, dan agamanya….�? dan seterusnya sampai akhir hadits. Dari potongan hadits tadi dapat kita simpulakn bahwa Nabi menyuruh kita untuk memilih wanita –dalam hal ini untuk pria- yang akan kita nikahi. Apa artinya memilih? Memilih artinya mengunakan kecendrungan –rasa- untuk memutuskan pilihan dari beberapa variabel yang ada. Misalnya saja saat Anda ingin membeli mie ayam, dari sekian banyak warung mie ayam, Anda akan memilih warung yang paling Anda sukai (baca: cintai). Adapun mengapa Anda membuat pilihan itu, akan ada banyak variabel yang membuat Anda menentukan pilihan itu. Misalnya saja karena rasanya enak, warungnya bersih, atau karena penjualnya ramah. Nah akumulasi dari variabel yang Anda jadikan ukuran itu disebut rasa, hasrat, atau cinta. Artinya Anda lebih mencintai untuk makan mie ayam di tempat X ketimbang di tempat lain. Demikian juga dalam memilih pasangan hidup, Andapun akan punya banyak variabel yang menjadi ukuran dalam menentukan pilihan Anda. Misalnya saja, Anda memilih yang cantik –ini pun akan sangat subjektif, misalnya saja cantik menurut Anda adalah yang tinngi, semampai, manja dan imut-imut serta ceria-, yang muslimah, yang kaya, atau yang anak Pak Lurah. Nah akumulasi dari kriteria yang Anda jadikan ukuran inilah yang disebut dasar cinta atau sebab cinta. Anda akan lebih mencintai seorang gadis yang cantik, muslimah, kaya, dan anaknya Pak Lurah, ketimbang gadis lain yang tidak sesuai dengan kriteria Anda ini. Artinya apa? Tidak mungkin Anda memilih seorang istri atau suami tanpa mencintainya terlebih dahulu sebelum menikah! Jika tidak, maka Anda akan segera bercerai! Kisah ini sudah ada di zaman Nabi dahulu. Dimana perceraian rumah tangga seorang sahabat terjadi karena memang sang istri tidak mencintai sang suami. Seperti dalam kisah pernikahan Tsabit bin Qais dengan Habibah binti Sahl yang terpaksa harus berakhir karena Habibah tidak mencintai Tsabit. Dan ini diperkenankan Nabi. Artinya Nabi jelas menginginkan suatu rumah tangga itu dibangun atas dasar saling cinta. Nah untuk mencegah perceraian yang cukup tragis seperti ini perlulah sebuah pernkahan itu dibangun atas dasar saling mencintai. Sebenarnya inti dari resistensi kalangan aktivis yang menolak pendapat saya adalah, bahwa mereka menganggap terobsesi pada seseorang akibat cinta mendalam itu adalah sebuah dosa. Mereka menganggap bahwa mencintai seseorang sampe gak bisa tidur, gak doyan makan, adalah sebuah big sin, dosa gedhe. Alasannya, nanti kalao ibadah ntar jadi gak ikhlas, niatnya karena si yang dicintai itu, bukan karena Allah. Ujung-ujungnya ntar bisa syirik. Whii syerem gitu. Padahal kalau mau jujur, sebenarnya bukan cuma cewek or cowok kita yang bisi bikin niat kita jadi gak bener. Ustadz, babe, nyak, engkong, encing, dosen, murabbi, temen, jamaah di masjid, semua bisa bikin kita punya niat jadi gak lurus. Bahkan anak-anak dan preman yang nongkrong di pinggir jalan dan sering godain kita, saat kita brangkat ke masjid bisa bikin kita jadi brubah niat jadi arogan dan pengen dikatain “Tuh yang ahli surga, kerjanya ke mesjid mulu!�?. Sementara di dalam hati tanpa sadar kita bilang “Ntar loe pade jadi kerak nerake, gare-gare kagak pernah jamaah di masjid, mampus loe!�?. Artinya sale besar kalo menjadikan cinta kita pada kekasih kita menjadi satu-satunya penyebab utama melencengnya niat kita. Sementara itu gak pernah ada yang bingung dan ribut melarang kita punya murabbi, dosen, guru, temen, yang juga bisa bikin niat kita melenceng. Padahal kalau mereka membaca sejarah para sahabat, seharusnya mereka tidak mempunyai pendapat seperti itu, banyak juga para sahabat yang truly, madly, deeply, loving a woman. kita simak lagi sejarahnya Abdullah bin Abu Bakar yang begitu love-nya sama Atikah sehinga saat dipaksa bercerai (yang artinya saat itu Atikah bukan apa-apanya Abdullah, tidak ada ikatan pernikahan) oleh ortunya –yang khawatir Si Abdul jadi over loving her and forget Lord- jadi seperti orgil. Suka ndomblong di depan rumah dengan tatapan kosong, ra doyan maem, bikin syair tentang rindu. Toh gak ada yang nuduh Abdullah jadi rada sesat gara-gara itu. Malah akhirnya mereka dirujukkan kembali, artinya babenya Abdul tidak ngelarang cinta mereka. Ini juga menyangkal anggapan mereka yang mengatakan boleh cinta tapi tidak boleh mengekspresikannya sebelum menikah. Buktinya Abdul juga bikin puisi cinta, dan juga ekspresi sedihnya yang jelas menunjukkan kerinduannya pada sang kekasih hati. Dengar juga komentar sang Pintu Kota Ilmu, Ali bin Abi Thalib, saat pernikahan Atikah dengan Umar bin Khattab. Minta ijin sama si suami tuk sekedar nginjen manten perempuan and bilang, “Wahai wanita yang berada di tempat yang tinggi, aku bersumpah tak akan mengalihkan pandanganku darimu agar kulitku menguning…�? what a love?!! Belum puas? Baca kisah Umar bin Abdul Aziz yang terobsesi pada seorang budak yang cantik, walaupun akhirnya dia mengembalikannya pada keluarganya. Baiknya jangan menjadi orang yang ramutu dan mengingkari fitrah dan mengada-adakan dalil yang ngelarang kita mencintai lawan jenis sebelum menikah. Bahkan Utsman bin Affan pun berkata bahwa dirinya adalah seseorang yang amat suka pada wanita. Mencintai bukanlah sebuah dosa. Dosa itu adalah ketika kita, melakukan khalwat, bersentuhan, berkata-kata dengan menggoda, dan zina itu sendiri. Jangan ghuluw dengan membuat batasan-batasan yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah dan RasulNya. Cukuplah apa yang Allah dan rasulNya berikan. Ikatan hati sebelum nikah bukanlah sebuah dosa. Dosa adalah perbuatan yang melanggar secara hukum fikih, dan dosa urusan Allah dengan hambanya. Ikatan hati selama dalam koridor syariat tiada berdosa. Namun muncul perdebatan lain. Mencintai lawan jenis akan mengalahkan cinta kita kepada Allah. Saya pikir ini sangat subjektif. Namun dapat kita ukur dengan mudah. Caranya? Mudah saja, ketika Anda mencintai seseorang, apa yang menjadi ukuran Anda untuk mencintainya. Misalnya saja Anda mencintai seorang gadis karena dia seorang gadis muslimah dan berjibab, suka mengaji dan berdakwah, santun akhlaknya. Jelaslah bahwa Anda lebih mencintai Allah ketimbang si gadis. Karena yang menjadi ukuran Anda untuk mencintai si gadis adalah ukuran-ukuran yang telah diberikan Allah. Ketika kemudian si gadis menjadi tidak berjilbab, nakal, dan urakan, maka cinta Anda pada si gadis akan luntur, dan Anda akan bilang pada si gadis, “Kalo Loe kagak berubah, kelaut aje….�? karena si gadis sudah tidak lagi sesuai dengan ukuran-ukuran yang Anda jadikan kriteria untuk mencintainya. Jika Anda memang mencintai si gadis lebih dari Allah maka akan mudah saja. Anda akan menerima si gadis apa adanya. Entah dia ndugal, urakan, pakaian mini, gaul bebas, gak peduli! Yang penting saya cinta dia. Naaah kalau sudah begini barulah cinta ini berbahaya, dan harus segera direvisi. Lain lagi dengan seorang teman saya. Dia mencintai seorang gadis namun karena si gadis ternyata baru memenuhi sebagian dari ukuran-ukuran cintanya, maka dia berkata pada saya “Saya tidak bisa mencintainya karena dia belum sesuai dengan ketentuan Tuhan saya.�? Kemudian saya bilang, “Lo, kenapa tidak Kamu buat dia menjadi sesuai dengan syariat Tuhan, ajarin dia dong! Ajak ngaji. Kan Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali dia berusaha mengubahnya.�? Dia balas menjawab, “Saya takut saya mengubahnya bukan karena Tuhan saya tetapi karena saya mencintai dia.�? Kedengarannya teman saya ini benar. Namun coba Anda renungkan lagi, sebenarnya dia berbuat itu untuk siapa? Untuk si gadis atau untuk Tuhan? Saya akan dengan mantap bilang “Jika Anda berusaha mengubah dia agar sesuai dengan syariat Tuhan, maka Anda telah berbuat untuk Tuhan!�? mengapa? Karena apa yang Anda lakukan itu agar dia sesuai dengan kehendak Tuhan arinya jelas-jelas Anda lebih mencintai Tuhan ketimbang si gadis. Jika Anda berbuat itu karena si gadis, buat apa repot-repot mengajak ngaji dan sebagainya. Karena Anda kan segera meneriama si gadis apa adanya. Entah dia sesuai atau tidak dengan aturan Tuhan. Nahhh, setelah tulisan yang panjang dan bertele-tele ini, kembali kita ke judul utama. Ada tidak sih pacaran Islami itu? Saya akan berani menjawab ada! Jadi tidak tepat kalau banyak aktivis dakwah secara “madju tak gentar�? mengkampanyekan anti pacaran. Karena memang yang namanya pacaran itu adalah sesuatu yang netral. Lebih tepat kalau aktivis dakwah mengakampanyekan secara progresif tentang aturan berinteraksi di dalam Islam. Sehingga objek dakwah menjadi lebih tahu, apa sih yang boleh dan apa sih yang tidak boleh. Bukannya menambah kebingungan yang berujung sikap menolak dakwah karena apa yang dikampanyekan tidak jelas dasar hukumnya. Gimana? Setuju? Seandainya Anda tidak setuju maka marilah kita dialogkan, mungkin saja saya banyak kekurangan referensi dan kekhilafan logika. Sesungguhnya segala sesuatu itu kembali pada-Nya. Dan hanya Dia lah Yang Maha Benar, pemilik kebenaran sejati. Kita hanya mencoba mengais setetes kebijaksanaan-Nya di tengah samudera Maha Bijak-Nya. Semoga Tuhan mengampuni semua dosa saya, Anda dan saudara kita semua. And semoga saja tulisan saya ini ada manfaatnya… ciao!!!
http://fauzansa.wordpress.com/2005/11/09/tidak-ada-pacaran-islami-between-myth-and-fact/