Dalam makna syariat, umat Islam sering terjebak
dalam pengertian sempit sehingga tak jarang kehilangan substansinya. Dan
akibatnya, mereka hanya melakukan ibadah seremonial dan tidak mendapatkan
sesuatu yang berharga yakni pembuka jalan menuju "kebenaran syariat".
Sikap terhadap shalat misalnya, betapa banyak nilai penghayatan dan kekhusyu'an
yang terabaikan. Shalat bukan lagi sebagai kebutuhan dialog dan memohon
petunjuk tetapi telah berubah sebagai kewajiban yang harus dipenuhi dengan
berbagai macam larangan dan ancaman yang mengerikan. Sehingga terasa sekali
muncul ketidaknyamanan dalam setiap melakukan syariat Islam. Hal ini tidak
ubahnya tawanan perang yang harus memenuhi kewajiban membayar upeti seraya
terbayang betapa kejamnya sang penguasa.
Belum lagi dalam melaksanakan petunjuk Al Qur'an
yang terasa dikejar target syarat sahnya syariat selain hitung-hitungan amal,
dan jarang mengarah pada pemahaman akan fungsi syariat itu sendiri. Setiap
syariat (aturan Allah) merupakan jalan dengan segala rambu-rambunya menuju
hikmah yang dikandung di dalam teks dan praktek secara sempurna, serta pembuka
tabir dibalik "firman". Syariat bukan hanya untuk dibaca dan disucikan
tanpa menyentuh isi tujuan yang dibaca, seperti tercantum dalam surat Al Alaq 1-5 :
"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah! dan Tuhanmu
yang paling pemurah. Yang telah mengajar manusia dengan perantara kalam. Dia
telah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya".
Memang, Al Qur'an adalah firman Allah yang
disucikan sehingga memegangpun harus suci dari hadast, namun hal ini bukan
berarti haram bagi manusia untuk memahami sesuai dengan kadar pemikiran dan
pemahamannya. Sebab Al Qur'an itu diturunkan sebagai petunjuk manusia dan
semesta alam. Sikap jumud (pendek akal) ini pun pernah diprotes RA Kartini pada
gurunya, KH Sholeh Darat, ketika ia mengusulkan agar Al Qur'an itu
diterjemahkan. Saat itu, ia merenungkan kondisi bangsa Indonesia yang mengalami kemunduran
pemikiran. Bagi Kartini, Al Qur'an yang begitu agung tidak hanya bacaan suci
yang berpahala dan pengobat hati saja, namun ia merupakan petunjuk hidup di
dunia maupun di akhirat. Menurutnya, andai Al Qur'an sudah diterjemahkan waktu
itu, insya Allah bangsa Indonesia
akan sadar pada integritasnya sehingga tidak akan mau menjadi budak Belanda.
Kata "iqra" merupakan jendela untuk
melihat kehidupan alam semesta yang luar biasa luasnya. Ayat ini menyiratkan
makna, betapa Al Qur'an membuka cakrawala dunia ilmu (pengetahuan) yang dapat
digali melalui kata 'baca'. Sejarah dunia pun mengakui bahwa pada abad ke tujuh
Islam telah mengalami masa kejayaan dan peradaban yang pesat. Islam telah
berhasil mengembangkan khazanah landasan ilmu pengetahuan dan teknologi,
sehingga sampai abad ketigabelas dilakukan secara terus-menerus penggalian dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang kelak dijadikan landasan ilmu pengetahuan
modern. Bisa dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh barat
yang baru dimulai pada permulaan abad 15 sampai sekarang.
Dengan bersyariat secara benar, Islam mengalami
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan secara pesat. Dengan meningkatnya
pengetahuan, kita mengenal sifat dan perilaku alam, gejala-gejala alamiah yang
komplek atau musykil dapat kita terangkan dan uraikan menjadi gejala-gejala
yang lebih sederhana yang mudah kita ketahui. Dari sini muncul teori untuk
menerangkan suatu gejala, ataupun teori yang disusun untuk meramalkan gejala
yang akan terjadi bila diadakan suatu percobaan tertentu dalam laboratorium.
Kemudian dilakukan eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Begitu
seterusnya, hingga sains natural tumbuh dan berkembang terus dari hasil
serangkaian kegiatan kaji-mengkaji secara struktural dan sistematis silih
berganti (disebut intizhar). Hal tersebut hanya dapat terjadi dalam suatu
generasi yang begitu gigihnya melakukan intizhar (penelitian) atas dasar
keislaman yang terkandung dalam Al Qur'an.
Dan bukan dengan cara disucikan dalam makna yang
keliru sehingga muncul kerancuan ilmu pengetahuan yang diakibatkan oleh
penyampaian tentang Islam yang tidak Islami. Akibatnya bisa kita lihat dan
rasakan sekarang bagaimana kebanyakan orang menganggap belajar fisika, biologi,
kimia dan ekonomi bukan ilmu Islam. Mereka antipati dengan ilmu dunia yang
dianggap bukan berasal dari Al Qur'an, dan mereka hanya kenal tentang Islam
sebagai musabaqoh Al Qur'an, haji, zakat, dan shalawat nabi serta
upacara-upacara seremonial, berikut segala larangan dan ancaman, amalan dan
ganjaran, tidak lebih dari itu, dan selain itu ditolak habis.
Para cendekiawan
barat mengakui bahwa Jabir Ibnu Hayyan (721-815) adalah orang pertama yang
menggunakan metode ilmiah dalam kegiatan penelitiannya di bidang alkemi yang
kemudian oleh ilmuwan barat diambil alih serta dikembangkan menjadi apa yang
kita kenal sekarang sebagai ilmu kimia. Sebab Jabir yang namanya dilatinkan
menjadi Geber adalah orang yang telah melakukan intizhar dan merupakan orang pertama
yang mendirikan suatu bengkel dan mempergunakan tungku untuk mengolah
mineral-mineral dan mengekstraksi menjadi zat-zat kimia dan
mengklasifikasikannya.
Di dalam sejarah ilmu pengetahuan yang ditulis
oleh sarjana Eropa disebutkan bahwa Mohammad Ibnu Zakaria ar-Rozi (865-925)
telah menggunakan alat-alat khusus untuk melakukan proses-proses yang lazim
dilakukan ahli kimia seperti distilasi, kristalisasi, kalsinasi dan sebagainya.
Buku Ar-rozi, yang namanya dilatinkan menjadi Razes, dianggap sebagai manual
atau buku pegangan laboratorium kimia yang pertama di dunia, dan dipergunakan
oleh para sarjana barat, yang baru berabad-abad kemudian mempelajari sains yang
telah dikembangkan oleh umat Islam, di universitas-universitas Islam di Toledo
dan Cordoba, Spanyol.
Terlalu banyak ilmuwan Islam dan karya mereka
untuk disebutkan pada kesempatan ini, dan begitu dalam pula pengaruh terhadap
karya tokoh-tokoh ilmiah itu di Eropa dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan
hingga masih dirasakan berabad-abad kemudian. Apakah sebabnya pada masa dahulu
umat Islam giat sekali mengembangkan Islam secara mendalam baik dalam bidang
hukum, filsafat, sains, maupun tasawuf. Namun sebaliknya apakah yang kita lihat
dan rasakan pada masa sekarang di abad ke dua puluh satu ini? Di pesantren-pesantren
serta perpustakaan-perpustakaan Islam hanyalah tersisa berupa kitab lusuh
klasik yang "dikeramatkan" dan "dikomersialkan" seperti
imriti matan, jurumiah, bulughul marom, madzahibul arba'ah yang kesemuanya itu
pelajaran-pelajaran tata bahasa arab belaka serta ilmu-ilmu fiqih yang sudah
dipatenkan. Pintu ijtihad ditutup!!
Sesungguhnya di dalam Al Qur'an banyak diperoleh
ayat yang mendorong umat Islam untuk melakukan intizhar dan menggunakan akal
pikiran seperti tercantum dalam ayat 101 surat
Yunus memerintahkan :
"Katakanlah (hai Muhammad) perhatikanlah
dengan intizhar/nazar apa-apa yang ada di langit dan di bumi".
Bahkan dalam ayat 17-20 surat Al Ghasiyah
dipertanyakan :
"Maka apakah mereka tidak melakukan
intizhar dan memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan. Dan langit bagaimana
ia ditinggikan. Dan gunung bagaimana ia didirikan. Dan bumi bagaimana ia
dibentangkan. Maka berikanlah peringatan karena engkaulah pemberi
peringatan".
Penggunaan akal pikiran untuk dapat
mengungkapkan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah ditegaskan dalam surat An-Nahl 11 :
"Dia menumbuhkan bagimu dengan air hujan
itu, tanaman zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya
yang demikian itu merupakan ayat-ayat Allah (tanda-tanda kekuasaan Allah) bagi
orang-orang yang berfikir."
Yang kemudian dilanjutkan dalam ayat
12 :
"Dan Dia menundukkan malam dan siang,
matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan dengan
perintah-Nya. Sesungguhnya dalam gejala-gejala itu terdapat ayat-ayat Allah
bagi orang-orang yang menggunakan akal"
Sebenarnya didalam ayat ini tercantum juga
ungkapan bahwa Allah menundukkan dan mengatur perilaku matahari, bintang, dan
bulan dengan perintah-Nya. Peraturan Allah inilah yang diikuti oleh seluruh
alam semesta beserta isinya, bagaimana ia harus bertingkah laku. Yang kemudian
oleh manusia disebut sebagai hukum alam, atau peraturan yang diikuti oleh alam.
Lebih jelas lagi kita baca surat Fushilat ayat 11 :
"Kemudian dia mengarah kepada langit
yang masih berupa kabut lalu Dia berkata kepadanya dan kepada
bumi:"Silahkan kalian mengikuti peritah-Ku dengan suka hati atau
terpaksa". Jawab mereka :"Kami mengikuti dengan suka hati".
Ayat ini membuktikan bahwa alam taat mengikuti segala
peritah dan peraturan sang pencipta, termasuk apa yang disebut alam pada diri
manusia (mikrokosmos), termasuk segala yang ada dalam tubuh kita seperti detak
jantung, darah mengalir menghantarkan nutrisi ke seluruh jaringan tubuh, nafas
menghembus tanpa kita perintahkan yang semuanya bergerak diluar kehendak kita.
Semua serba teratur dan tunduk patuh kepada peraturan-peraturan yang
ditetapkan, mereka bekerja dalam ketetapan dan fungsinya masing-masing. Namun
demikian manusia tetaplah manusia yang selalu saja tidak pernah bersukur dan
menyadari bahwa semua itu adalah karunia Allah yang maha pemurah, dan tetap
saja kebanyakan manusia mengingkari hal itu semua sebagai rahmat-Nya. Walaupun
seluruh instrumen tubuh manusia itu sesungguhnya ikut dalam peraturan Islam
yang merupakan ketetapan Allah.