Rabu, 14 Desember 2011

Api Diri (Sondang Hutagalung)

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi meratapi peti mati Sondang Hutagalung saat disemayamkan di aula Ir. Soekarno, Universitas Bung Karno, Jakarta Pusat, Minggu (11/12/2011). Almarhum Sondang adalah pelaku bakar diri yang dilakukannya di depan Istana Negara.


Api Diri (Sondang Hutagalung)

Kawan, akhirnya kau menyediakan dirimu menjadi kayu yang menyala api agar rakyat sebagai besi-besi perlawanan segera tertempa menjadi rencong, keris, belati, pedang dan segala rupa ketajaman untuk bangkit bersatu, melawan
Kawan, akhirnya dengan api diri kau memberi tanda di mana segala ketajaman harus diarahkan, istana. Ya, istana. Bukan di mana-mana. Tapi, di sini, tempat dirimu berdiri, menjadi api, sebagai tanda segala ketajaman harus diarahkan.
Kawan, akhirnya dengan api diri kau memberi kabar terang sekali bagaimana rakyat mesti berkorban untuk menghentikan penindasan. Sama seperti zaman penjajahan, yakni pengorbanan. Dan kau sudah memberi kabar yang terang agar tiada lagi yang dikorbankan sia-sia di kegelapan kekuasaan. Ya lewat mesiu, ya lewat uang, ya lewat jabatan, juga lewat kata-kata serta citra.
Kawan, kami telah menghormati perjalananmu dengan gelar sarjana kehormatan dan gelar pahlawan mahasiswa sambil terus mengasah mata rencong, keris, belati, pedang keberanian untuk datang ke istana, entah kapan.

Kutaradja, 13 Desember 2011

Risman A Rachman adalah sosok yang oleh rekan-rekannya disebut "seniman sunyi" dari kota para petarung, Aceh. Rajin menulis tulisan sastra lepas, yang ia simpan di "dinding langit" untuk menyebut media sosial. Juga sebagai penulis khususnya di media lokal. Puisi-puisi pendeknya tersimpan di blog katainstitute.wordpress.com

Mencari Jalan Membangun Harapan – Mengenang Sondang Hutagalung


Pada Desember 10, seorang lelaki berumur 22 bernama Sondang Hutagalung meninggal dunia akibat 98% dari tubuh terbakar. Sulit membayangkan rasa sakit yang dideritakannya selama melawan maut di rumah sakit.  Yang lain daripada yang lain, lelaki muda ini tidak kebakar dalam sebuah kecelakaan tetapi membakar diri.
Dia tidak meninggalkan sebuah surat yang menjelaskan niatnya dia  tentang tindakan mengambil nyawanya sendiri dengan cara yang penuh penderitaan ini. Mungkin Sondang  mau menunjukkan rasa cemasnya yang dalam bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih menderita kemiskinan. Sondang aktif di organisasi mahasiswa Himpunan Advokasi-Study Marhaenis Muda untuk Rakyat dan Bangsa Indonesia (Hammurabi). Dia juga memimpin komunitas Sahabat Munir. Dia membakar diri di depan Istana Kepresidenan, mungkin ingin mengatakan presiden Yudhoyono sebagai kepala pemerintahan yang  “gagal mensejahterakan rakyat.”  Mungkin juga dia terinspirasi oleh kasus seorang pedagang kaki lima Tunisia (Marhaen Tunisia) yang melakukan hal yang sama yang kemudian memicu pemberontakan oposisi di negeri tersebut, sehingga Presidennya jatuh.
Bisa saja terjadi – dan memang sudah terjadi – debat atau diskusi tentang benar atau salahnya tindaknya Sondang ini. Tetapi mengingat rekor kegiatan Sondang, minimal kita harus menghormati dia dan mengenangnya sebagai orang yang sanggup mengorbankan nyawanya dan menderitakan kesakitan fisik yang luar biasa dalam harapan bahwa ini akan berguna buat rakyat Indonesia.
Karena itu aku salut pada saudara Sondang, mahasiswa Universitas Bung Karno  yang pernah gerak buat kaum marhaen dan korban pelanggaran HAM. Saya membaca juga bahwa dia pernah juga terlibat aktivitas solidaritas dengan rakyat Papua korban kekerasan. Sekali lagi salut!

Dinamika Menghadapi Kegagalan Mensejahteraan Rakyat
 Di Morocco kasus orang membakar diri memicu sebuah pemberontakan oposisi yang massif. Di Indonesia belum jelas sepenuhnya bagaimana nanti dampak daripada tindakan Sondang. Teman-teman mahasiswanya dari UBK sudah mengaraknya ramai-ramai ke kuburan. Ada versi bahwa lagu DARAH JUANG yang didedikasikan ke Sondang. Universitas mengangkatnya dengan pemberian gelar kehormatan. Mahasiswa-mahasiwa menyatakan tekad untuk meneruskan perjuangannya Sondang melawan pimpinan hedonis.  Simpati sangat meluas, meski juga ada yang mempertanyakan tindakannya sebagai perbuatan politik. Kita belum tahu sepenuhnya bagaimana warisan perbuatan dia ke depan.
Dalam perbandingan Indonesia dengan Tunisia (atau Mesir) bisa kita catat suatu hal yang berbeda yang akan mempengaruhi situasi. Di Morocco pada saat  Mohammed Bouazizi membakar diri, masyarakat Tunisia sedang di cengkeraman seorang diktator. Mahasiswa dan rakyat Indonesia sudah memaksa diktator Indonesia selama 33 tahun – Suharto – turun pada tahun 1998, 14 tahun yang lalu. Situasi kondisi politik bukan sebuah kondisi yang tegang menunggu sesuatu yang akan memicu kemarahan anti-kediktatoran meledak.  Solusi pada kedikatatoran gampang dirumuskan dengan tepat (meski belum tentu gampang menerapkan rumusannya). Kediktatoran bisa dihilangkan dengan turunkan diktator. Tunisia (dan Mesir) sudah lama menunggu pemicu penurunan diktator mereka. Di Indonesia, dari tahun 1989 sampai 1996 proses membangun gerakan anti-diktatoran tanpa pemicu dramatis, berkat jerih-payah aktivis-aktivis yang membangun organisasi, termasuk yang selalu di depan aktivis-aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), periode 1994-1999.
Bom kemarahan kalau sudah meledak, asal diarahkan, bisa jatuhkan diktator. Tetapi seperti  yang sedang dialami di Tunisia dan Mesir, dan juga sudah dialami Indonesia selama 14 tahun, jatuhnya kediktatoran  membuka ruang  gerak yang lebih luas. Kita kemudian dihadapkan dengan masalah bagaimana mengisi ruang tersebut degan sebuah gerakan yang akan memperjuangkan perubahan yang lebih jauh lagi. Pemicu-pemicu yang ditunggu ialah pemicu yang membangun rakyat berorganisasi secara massal dan massif, memperjuangkan kemajuan negerinya, karena elit tak bisa diharapkan sama sekali. (Ini masalah yang dihadapi seluruh negeri di saat ini.) Dan yang bisa mensejahterakan rakyat bukan seorang Presiden tetapi gerakan rakyat sendiri.

Rakyat memang tidak mengharapkan elit, kemudian .. ?
Sering sekali saya lihat di berbagai aksi mahasiswa maupun serikat buruh serangan kritik bahwa pemerintah Presiden Yughoyono gagal mensejahterakan rakyat. Slogan “Megawati-Hamzah Haz gagal”, “Yudhoyono-Kalla gagal” dan sekarang “Yudhoyono-Beodiono gagal” muncul berulang-ulang sejak Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Di pinggir jalan dan di perbincangaan rakyat, pasti mayoritas sudah setuju kesimpulan tersebut. Rakyat sepakat. Tetapi bentuk pemikiran “Yudhoyono-Beodiono gagal”, meskipun sebagai kenyataan adalah benar, sekaligus juga tersesat. Perumusan masalah dalam bentuk si A dan si B gagal sebagai Presiden dengan sendiri mengandung anggapan bahwa ada juga sedang sembunyi di suatu tempat si  C dan si D yang akan berhasil. Secara tidak langsung pendekatan ini masih mengandung unsur “ratu adil”isme.
Presiden Yudhoyono memang sudah pasti gagal mensejahteraan rakyat sejak sebelumnya. Begitu juga semua orang-orang yang lagi dibicarakan sebagai calon presiden tahun 2014. Ada beberapa sebab. Pertama, Yudhoyono dan calon-calon lainnya, semua merupakan perwakilan dari kelas menengah atas Indonesia yang mengukur keberhasilan ekonomi dengan ukuran pertumbuhan kelas menengah dan kelas menegah atas. Itu saja yang harus dicapai. Kelas menengah makmur Indonesia mungkin kurang-lebih 10% dari penduduk Indonesia atau 20an jutaan orang. Yang 200 juta orang lain memang tidak dianggap, asal jangan rusuh atau melawan. Jadi memang tidak ada minat mensejahteraan rakyat, sejak awal. Kadang-kadang pemerintah kelihatan bengong menghadapi masalah-masalah sosial dan ekonomi rakyat: jangan-jangan tidak bengong hanya tidak tertarik saja.
Kedua, kemiskinan rakyat dan keterbelakangan ekonomi Indonesia tidak disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia, termasuk yang “neo-liberal”pun atau yang diresep-resepkan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Kebijakan-kebijakan memang kebanyakan tidak pantas disetujui, tetapi bukan sebagai penyebab atau asal-usul masalah tetapi sebagai hal yang memperparah situasi. Kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi Indonesia, dan keterbelakangannya infrastruktur sosio-budaya, berasal dari warisan kolonialisme Hindia Belanda yang meletakan Indonesia sebagai ekonomi neo-koloni yang tak berindustrialisasi. Kemudian ekonomi Indonesia selama Orde Baru ditumbuhkan lagi pakai pola yang sama, bukan sebagai hasil pemaksaan kubu imperialis tetapi atas undangan sukarela kekuasaan pemenang pertaruhan arah pembangunan Indonesia yang berlangsung 1945-65. Indonesia 2011 adalah hasil 33 tahun pola ini, sehingga elit politik-ekonominya tak mungkin akan berminat mensejahterakan rakyat.

Dua lapis “ketidak-ada-harapan”.
Sudah 46 tahun berlalu sejak Orde Baru berdiri. Elit kekuasaan Indonesia sudah terbentuk mapan. Apakah ada harapan elit tersebut akan melahirkan sebuah sayap yang dinamis, bergairah, cinta rakyat, cinta kebenaran, cinta ilmu? Periksa saja partai-partainya mereka dan mengambil kesimpulan sendiri. Kalau kerangka pikiran kita ialah Yudhoyono tak mampu, dengan fokus pada perorangannya dan kebutuhan akan seorang presiden yang lain lagi, sudah pasti akan muncul perasaan: tak ada harapan, harus ada tindakan yang sedrastis-drastisnya.
Ada juga sebuah “ketidak-ada-harapan” lain yang ikut mewarnai suasana. Pada tahun 40an, 50an, 60an, 70an bahkan 80an, baik di Indonesia maupun secara internasional, ada suatu kata, suatu diskursus, suatu visi yang memberi harapan pada semua orang: “Development”, “Pembangunan”. Pada dekade-dekade itu seluruh dunia yakin bahwa negeri negeri “sedang berkembang” akan berkembang, bahwa “development” akan terjadi, bahwa negeri-negeri itu akan mencapai “take-off”.  Yang pesimis dan sabar anggap mungkin ini proses lama melalui “trickle down effect” selama beberapa generasi. Yang optimis mengira “take-off”akan pesat dan heboh. Kaum sosialis yakin gerakan-gerakan pembebasan nasional akan berkembang menjadi revolusi sosialis sehingga akan ada pembangunan sosialis. Di Indonesia sendiri, selama periode Orde Baru, sampai 1997, “pembangunan” menjadi hampir sebuah agama, dan sebuah agama yang formal menjanjikan akselerasi pembangunan 25 tahun.
Pada abad 21 ini, di sebagian besar negeri sedang (tidak) berkembang di dunia, mimpi tentang pembangunan tinggal menjadi mimpinya kelas menengah atas saja. Hanya sedikit negeri, seperti Venezuela misalnya, yang masih memperjuangkan pembangunan buat rakyatnya – atau lebih tepat, rakyat Venezuela sendiri sedang memperjuangkannya. Di banyak negeri-negeri dengan mimpi development menghilang rasa tak ada harapan semakin kental terasa. Tindakan-tindakan drastis, semakin sering terjadi.
Di Indonesia rasa tak ada harapan yang melahirkan tindakan drastis juga yang mengakibatkan beberapa kali orang yang memimpikan dunia yang lain dan lebih baik  melakukan bunuh diri. Berbeda dengan Sondang, orang-orang ini sekaligus membunuh orang lain pula, dengan aksi bom bunuh diri. Tindakan drastis bom bunuh diri dan membunuh nyawa lain ini bukan hanya sakit irrasionil tetapi juga kriminil. Sondang tidak berniat ambil yang nyawa orang lain, tetapi mempertaruhkan nyawanya sendiri.
Membangun harapan
Membangun harapan butuh lebih daripada semacam pengambilan sikap bertekad berjuang. Membangun harapan mebutuhkan pengertian bahwa memang adalah mungkin untuk mencapai kemajuan-kemajuan. Selama gerakan fokus pada menyatakan kekecewaan dengan pimpinan negara yang ada dengan slogan si A dan si B gagal, dengan pesan di dalamnya bahwa si C atau si D, yang bisa selesaikan masalah, tidak akan terbangunkan harapan. Konsekwensi logis dari kesimpulan bahwa elit politik ekonomi negeri tak mampu memimpin atau melakukan pembangunan ialah bahwa hanya yang non-elit akan bisa melakukannya. Yang “non-elit” (marhaen, rakyat miskin, 99% dll) tidak bisa hanya sebagai penerima kesejahteraan tetapi pelaku merebutnya, merencanakannya dan melakukannya.
Dari kesadaran itulah akan datang permulaan dari analisa syarat-syarat yang dibutuhkan untuk yang non-elit bangkit berorganisasi. Dan dari sana akan datanglah harapan.
Contoh Sondang mengingatkan kita betapa dalam bisa seorang manusia merasa peduli tentang rakyatnya. Perasaan dalam tersebut harus digendongkan dengan pengertian dan perencanaan bangkit bersama-sama, supaya tidak perlu lagi dan tidak akan ada orang yang merasa perlu ambil tindakan drastis mengorbankan diri menderita kesakitan dan kehilangan nyawa  demi berusaha memicukan sesuatu yang dia tunggu-tunggu tapi tidak datang. Kekuasaan selalu siap makan korban dari kaum pejuang,  seharusnya tak perlu kita menambah dengan pejuang mengorbankan diri. Hanya bangkit dan berorganisasi bersama-sama -dengan membuang semua harapan pada elit siapapun- memperjuangkan keadilan dan pembangunan akan membangun harapan yang melahirkan tindakan-tindakan berdaya cipta.
Selamat jalan Sondang.

Sumber : http://maxlaneonline.com/2011/12/11/artikel-mencari-jalan-membangun-harapan-mengenang-sondang-hutagalung-by-max-lane/

Ilustrasi :  Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)
               http://www.facebook.com/media/set/?set=a.315655111792635.83732.158632180828263&type=3

Pengorbanan Terbaik Manusia Indonesia*

“Orang yang paling bahagia adalah mereka yang memberikan kebahagiaan terbesar kepada orang lain.” (Status Facebook Sondang Hutagalung, 19 September 2011)

“Untuk memberikan cahaya terang kepada orang lain kita jangan takut untuk terbakar. Dan bagi mereka yang terlambat biarlah Sejarah yang menghukum-nya.” (Sondang Hutagalung)



Sondang Hutagalung (22 tahun, akun Facebook: Hut Son) telah meninggal pada pukul 17.45 Wib, tepat pada Hari Hak Asasi Manusia se-Dunia, 10 Desember 2011. Ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah meregang nyawa selama tiga hari. Sondang adalah ketua Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenis Untuk Rakyat Indonesia (Hammurabi Justice), aktivis yang mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan HAM. Dia membakar dirinya sendiri dengan harapan bisa membangkitkan gerakan rakyat.

Menurut para saksi, Rabu (7/12) pukul 17.30 Wib, Sondang yang berpenampilan rapi membakar diri dalam balutan baju biru, celana hitam dan memakai sepatu pantopel (sebenarnya sepatu semi boot). Ia sempat mondar-mandir sebelum melakukan aksinya. Ia menyiram bensin ke sekujur tubuhnya, lalu menyulut api dan terbakar. Dia tak berteriak-teriak kesakitan layaknya orang yang terbakar. Sondang baru ditolong setelah api membesar selama tiga menit yang meninggalkan 98 persen luka bakar di seluruh tubuhnya.

Sondang yang juga adalah mahasiswa semester akhir di Universitas Bung Karno (UBK) ini, melakukannya secara sadar dan terencana. Sebagaimana seorang biksu Budha merencanakan laku self-immolation. Sebagai seorang aktivis pembela HAM yang sehari-harinya bergelut dalam pengorganisasian mahasiswa, advokasi dan aksi massa, ia tahu benar fenomena bakar diri telah sukses menggelorakan revolusi di Tunisia dan Mesir. Ia tidak konyol dan bodoh sebagaimana yang dituduhkan oleh banyak orang. Seorang Sondang hanya ingin memposisikan dirinya sebagai martir, sebagai bunga yang dibakar**. Hal ini diperkuat dengan keterangan kekasih Sondang yang menyebutkan sebelum bakar diri, Sondang pernah mengatakan akan membuat sebuah aksi besar. Rabu pagi, ia juga sempat chatting (online) dengan kawannya, Arlex Susanto Goenawan, dan mengirimkan pesan pendek, "LAWAN".

Jadi, jelas tindakan Sondang adalah aksi politis yang mengharapkan dukungan politis pula. Apalagi ia melakukan aksinya menjelang dua hari besar gerakan rakyat: hari Anti Korupsi 9 Desember dan Hari HAM 10 Desember. Sebelum Sondang membakar diri di depan Istana Negara, ia berteriak: “Turunkan SBY!”

Beberapa media menyajikan informasi mengenai Sondang dari framing masalah psikologis. Sudut pandang yang dipilih untuk mengaburkan alasan politis pembakaran diri tersebut, sehingga rakyat Indonesia diharapkan percaya bahwa Sondang menderita problem kejiwaan, bukan karena protes terhadap rezim.

Membakar diri telah menjadi metode protes yang dipopulerkan oleh Mohammed Boauzizi pada 17 Desember 2010. Boauzizi adalah seorang pedagang sayur di Tunisia yang protes karena dagangannya digaruk oleh pemerintah. Ia meninggal, namun aksinya memicu gerakan sosial di negeri tersebut yang lalu berhasil menumbangkan rezim Ben Ali. Metode ini juga ditiru sebagai cara protes ke pemerintah oleh orang Mesir dan Aljazair.

Bakar diri untuk protes juga pernah dilakukan oleh seorang buruh Korea Selatan, Chun, Tae-Il, dalam suatu aksi di kawasan Peace Market, Korea Selatan, pada 13 November 1970. Tae-Il meneriakkan “ taati hukum perburuhan”, “stop eksploitasi buruh”, “hari minggu libur” sambil berlari dengan tubuh penuh kobaran api sebelum kemudian ambruk. Hari-hari selanjurnya, pemogokan buruh dan solidaritas rakyat membesar di berbagai tempat di Korea.

Di Indonesia, bakar diri sudah banyak kejadian (bahkan bom bunuh diri), namun tidak politis—bakar diri dalam rangka frustasi dengan keadaan ekonomi yang miskin. Penyebab kemiskinan adalah sistem ekonomi yang dijalankan oleh pemerintahan SBY-Budiono yang adalah hamba kapitalis dan bermental korup. Rezim ini lah yang sebenarnya bertanggungjawab terhadap aksi bakar diri Sondang.

Pengharapan pada Spontanitas

Penggulingan SBY adalah kehendak Sondang. Hal ini juga adalah kehendak kelompok gerakan kiri di Indonesia. Bahkan lebih jauh lagi, tidak hanya sekadar menggulingkan SBY sebagai presiden, tetapi ada kehendak mengganti sistem.

Demi “turunkan SBY”, Sondang telah menempuh cara yang memerlukan keberanian luar biasa: berkorban diri hingga mati. Hal yang mungkin tidak banyak orang yang sanggup (berani) untuk melakukan, atau tidak banyak orang yang menganggap hal itu cukup masuk akal untuk dijadikan sebagai metode perjuangan.

Apa yang diharapkan Sondang sesungguhnya adalah kebangkitan gerakan spontan sebagaimana yang terjadi di Tunisia dan Mesir, serta aksi-aksi pendudukan yang motori oleh Pendudukan Wall Street. Sama seperti harapan para penggiat Occupy (pendudukan) yang akhir-akhir ini ada di beberapa kota di Indonesia: mengharapkan partisipasi individu-individu secara spontan dan luas untuk terlibat dalam gerakan.

Dari mana kesadaran harapan ini muncul?

Pertama, situasi objektif dimana di bawah sistem kapitalisme yang dioperasikan oleh pemerintahan SBY sudah sangat jelas-jelas menyengsarakan. Model kebijakannya adalah pro kapitalis. Skemanya sudah jelas neoliberal yang didiktekan oleh korporasi melalui lembaga-lembaga donor (korpoautokrasi). Arahnya adalah ekspansi modal dan perampasan nilai (kerja). Dan, ekses (dampak)nya sangat bervariasi dan meluas di mana-mana. Korban nyawa juga sudah banyak. Watak kapitalis pemerintahan SBY tercermin dalam regulasi (aturan), program pemerintah, dan situasi ekonomi yang semakin sulit--sementara elit-elit semakin kaya.

Beberapa isu, misalnya, utang negara yang mencapai 1700 trilyun, persoalan upah murah, kasus pembunuhan dua orang warga di Tiaka oleh aparat, kasus Freeport yang menewaskan warga, dan seterusnya, dan seterusnya. Inventarisasi ekses kapitalisme akan menghasilkan banyak sekali isu.

Penindasan adalah ladang subur bagi bersemainya perlawanan, demikianlah hukumnya.

Kedua, kelompok-kelompok gerakan dengan berbagai spektrum ideologi dan isu telah berjuang sejak lama. Reformasi memberikan ruang yang lebih luas daripada masa Orde Baru, untuk melahirkan berbagai kelompok gerakan. Perkembangan ini adalah positif, pun banyak perpecahan menjadikannya terserak. Serakan-serakan ini memperluas dirinya dalam berbagai kadar. Fragmentasi ini belum ada jalan keluarnya. Fragmentasi antar-organisasi, fragmentasi antar-isu (identitas), bahkan fragmentasi antara organisasi dan individu. Gerakan yang ada belum sanggup untuk menciptakan atmosfer revolusi.

Sementara itu, sekali lagi, perluasan geografi modal (sebagai konsekuensi perluasan kapitalisme), yakni investasi dan pasar menjadi semakin masif, apalagi krisis saat ini justru menyerang negeri-negeri kapitalis maju. Negara berkembang pun menerima dampak perluasan kapital (modal). Marx sudah menjelaskannya sejak 1887 dalam Manifesto Partai Komunis:

Syarat-syarat masyarakat borjuis terlampau sempit untuk memuat kekayaan yang diciptakan olehnya. Dan bagaimana kah borjuis mengatasi krisis-krisis tersebut? Pada satu pihak, dengan memaksakan penghancuran sejumlah besar tenaga-tenaga produktif, pada pihak lain, dengan merebut pasar-pasar baru, dan menyulap pasar-pasar yang lama dengan cara yang lebih sempurna. Itu artinya, membukakan jalan bagi krisis-krisis yang lebih luas dan lebih merusakkan, dan mengurangi syarat-syarat yang dapat mencegah krisis-krisis itu.”


Ekses kapitalisme semakin meluas serta banyak pelajaran revolusi dari negeri-negeri lain—dewasa ini dari negeri-negeri Afrika Utara dan gerakan pendudukan di AS dan Eropa. Semua ini berdialektika menjadi kesadaran yang dipercepat oleh media sosial yang semakin berkembang.

Situasi semacam ini menghasilkan pengharapan dalam kadar yang tinggi di kalangan kaum gerakan kepada gerakan spontanitas, di samping berharap organisasi yang telah ada—bahkan ada ekstrim penilaian bahwa organisasi sudah tidak produktif. Jadi, tidak heran bermunculan kesadaran metode yang ingin menghasilkan gerakan spontan itu, seperti metode pendudukan individu-individu dan metode bakar diri Sondang.

Yang membedakannya, gerakan individual Sondang memiliki militansi yang luar biasa (rela mati), politis, berorientasi penggulingan kekuasaan dan percaya pada organisasi dalam memimpin gerakan spontan. Ia bukan seorang anarkis (tidak percaya organisasi). Beberapa minggu sebelum aksinya, ia sempat menitipkan Hammurabi kepada kawan-kawannya. Ia justru membakar diri sebagai bentuk protes terhadap pemerintah agar lebih banyak lagi orang yang bangkit melawan rezim serta memperkuat organisasi dan gerakan rakyat.

Gerakan Sondang tidak lah sia-sia. Dia telah memberikan inspirasi keberanian yang luar biasa kepada setiap orang. Dia menunjukkan pencapaian model pengorbanan terbaik yang bisa diberikan oleh seorang manusia, khususnya orang Indonesia. Dalam logika pengorbanan, Sondang memiliki ekspektasi apa yang dia lakukan akan menghasilkan sesuatu. Sesuatu itu adalah perubahan. Dan untuk itu, orang perlu mengatasi ketakutan sebagaimana yang telah ia lakukan.

Jika Sondang yang berusia muda itu berani mengatasi ketakutannya terhadap kematian, mengapa kita tidak berani mengatasi ketakutan kita untuk melawan penindasan?

Dari sini lah, gerakan solidaritas itu bisa tumbuh dan diperluas. Kelompok gerakan progresif dan rakyat dimanapun berada harus meresponnya dalam memperluas dan memimpin gerakan penggulingan kekuasaan, penggantian sistem dan menjalankan demokrasi langsung.

Tidak sedikit partai politik reformis (bahkan korup) beserta ormasnya yang ingin mengambil keuntungan dari kematian Sondang untuk menjatuhkan SBY. Bahkan kelompok Sisa Orde Baru dan tentara yang kuat secara ekonomi karena memiliki aset-aset perusahaan, yayasan dan koperasi dalam domain “anti modal asing” juga berusaha mengambil-alih kekuasaan, dan bisa memanfaatkan kematiannya.

Tanpa intervensi kelompok gerakan, tanpa terkoneksi dengan gerakan buruh dan kaum miskin, pengorbanan Sondang bak bola liar yang bisa terpental ke arah yang salah atau segera membatu.


Catatan
* Tulisan ini buat Sondang, yang mungkin pernah sekali dua bertemu di Cina Benteng pada hampir dua tahun silam.

** Istilah "bunga yang dibakar" meminjam istilah dari lukisan Yayak Yatmaka, merupakan istilah bagi kawan-kawan yang diculik dan tak kembali. Sondang adalah bunga (pejuang), dan dalam makna harfiah, benar-benar terbakar.




 Foto: Tribun News


Sang Penerang (*)

Sondang Hutagalung, lelaki berambut cepak dengan badan yang berisi itu memiliki tatapan tajam. Meskipun ia jarang berbicara namun terlihat kesungguhan dari matanya. Dalam setiap aksi yang diikutinya, ia tampak total. Seperti perjumpaanku kurang lebih 3 bulan lalu di aksi solidaritas untuk Papua akhir September lalu.

Sondang memerankan dirinya sebagai seorang militer yang kejam di Papua. Dengan memakai baju loreng dan senjata laras panjang, Sondang terlihat begitu gagah. Sepatu hitam yang dipakai pada saat itulah yang menemani kematiannya.

Sondang, lelaki muda berusia 22 tahun. Memiliki semangat juang yang tak dapat ditampik lagi. Keberadaannya ditengah-tengah komunitas aktivis di ibu kota telah menempanya menjadi pribadi yang kuat. Ia memiliki cara tersendiri untuk melakukan perlawanan.

Sebagai penggiat organisasi kemahasiswaan di Universitas Bung Karno, Sondang cukup dikenal dan dicintai oleh semua orang. Namun tidak semua orang mengerti tentang pilihan kematian baginya. Kehilangan pasti, sedih itu juga yang menjalar di wajah-wajah penggiat Hak Asasi Manusia sejak tengah malam 10 Desember.

Di atas meja sudut rumah duka RSCM, foto Sondang berjajar di tengah taburan bunga duka cita, sementara lilin menyala redup ditiup angin. Sondang tersenyum di tengah derai air mata semua orang yang menunggu dengan pedih kepastian jenasahnya akan dibawa kemana. Sondang, foto dengan tangan bersidekap itu seperti menemani semua wajah yang murung dan terluka.

Wajah tak kalah pedih ditunjukkan oleh keluarga Sondang, tangis seorang ibu pecah ketika mendengar ratusan mahasiswa bernyanyi, orasi dan meminta jenasah Sondang dibawa ke kampusnya tercinta, tempat ia ditempa perjuangan hidup dan kemanusiaan.

Di tengah kontroversi tentang pilihan Sondang dalam melakukan protes terhadap rezim ini, tentunya kita semua mengerti bahwa ini adalah bentuk protes putus asa terhadap pemimpin negeri ini. Di antara sejumlah aksi dengan berbagai cara untuk perubahan bangsa ini, ternyata semua membentur tembok, tetap gagu dan membisu.

Sondang dapat membaca keresahan keluarga korban pelanggaran HAM yang telah bertahun-tahun melakukan aksi diam di depan Istana, namun tak juga mendapat respon dari pemimpin negeri ini. Di tengah carut-marut kasus korupsi yang kian menjerat pemerintahan ini, ternyata tak cukup hanya dengan melakukan aksi dan tuntutan perubahan. Sondang merasakan keresahan itu luar biasa menghimpit dadanya.

Sondang telah menghentakkan publik dengan keberaniannya mengorbankan nyawanya. Kita ingat Mahatma Gandhi pernah melakukan aksi mogok untuk mencegah pertempuran antara orang-orang Hindu dengan orang-orang Islam dan walaupun beliau dihentikan sebelum maut, beliau kelihatan rela mati. Ini menarik perhatian kepada perjuangannya dan hormat yang amat kepada beliau sebagai seorang pemimpin rohaniah.

Wikepedia melansir pada decade 1960an Sami-Sami Budha khususnya Thich Quang Duc, di Vietnam Selatan telah menarik perhatian dunia Barat dengan melakukan aksi bakar diri hingga mati menentang Presiden No Dinh Diem. Peristiwa lain pada masa perang Dingin di Eropa Timur melalui kematian Jan Palach setelah serangan Kesatuan Soviet atas Czechoslovakia serta pengorbana diri Romas Kalanta di lebuh raya Kaunas, Lithunia pada tahun 1972. Pada November 2006, Milachi Ritscher seorang aktivis anti perang amerka Serikat, melakukan bunuh diri terhadap bantahan terhadap perang di Iraq.

Di Jepang bunuh diri dilakukan oleh tentara yang kalah perang atau gagal mempertahankan Negara memilih untuk menamatkan riwayat mereka melakui hara-kiri, atau potong perut dengan samurai.

Pada Desember tahun 2010 Muhammed Bouazizi (26) , melakukan aksi bakar diri di Tunisia. Aksi menyulut gelombang massa dan berhasil menumbangkan penguasa Tunisia, Presiden Zine al-Abidine Ben Ali yang sudah berkuasa 23 tahun. “Itu gerakan rakyat pertama yang menjatuhkan penguasa.”

Kemudian kita kembali ke Indonesia. Melihat carut marut politik Negara yang kian parah, korupsi menjadi bagian trend bagi pejabat publik. Bahkan menjadi gaya hidup bagi PNS muda akhir-akhir ini. Mengambil hak orang lain merupakan hal lumrah dan gaya hidup keren bagi kalangan penguasa. Bahkan hal itu dilakukan secara bersama-sama hingga tidak memikirkan nasib ribuan manusia lainnya. Kematian menjemput di berbagai tempat karena kemiskinan dan kelaparan. Semuanya dianggap wajar oleh pemimpin negeri ini, semua tetap berlanjut, seperti anjing menggonggong.



Tangis seorang ibu pecah ketika mendengar ratusan mahasiswa bernyanyi, orasi dan meminta jenasah Sondang di bawa ke kampusnya tercinta, tempat ia ditempa perjuangan hidup dan kemanusiaan.

Sengkarut di negeri ini telah menohok sisi kemanusiaan seorang Sondang. Sebagai seorang revolusioner ia merasakan kegundahan luar biasa. Berbagai jalan telah ia tempuh, termasuk kematian untuk perubahan. Sondang telah memilih perjuangannya untuk perubahan bangsa ini, tanpa ingin melibatkan orang lain susah dalam kematiannya, termasuk ia merahasiakan rencana aksi bakar diri terhadap siapapun.

Sondang diakhir perjalanan hidupmu, engkau tersenyum menitipkan pesan pada kami semua untuk tidak larut dalam sedih atas kepergianmu. Hari ini tanah merah telah mendekap ragamu dalam sunyi. Namun tangan Tuhan telah merangkulmu dalam damai…

Pergilah kawan dalam sejarah yang tak terlupakan. Kami semua akan terus belajar untuk berjuang dengan cara kami, dengan tetap mengilhami perjalananmu yang kini abadi. Satu putra terbaik pertiwi telah pergi dalam tapal batas perjuangan yang belum berakhir…

Wasiat perlawanan telah Sondang torehkan. Tinggal kita semua melanjutkan apa yang telah ia mulai, buka mata wahai penguasa negeri bebal, rakyatmu sudah muak dengan kepemimpinanmu yang tidak pernah memihak rakyat…

Jakarta, 11 Desember 2011.

*Judul asli artikel: Sondang, sang revolusioner telah pergi. Dinukil dari harian Kompas.

**poster: nobodycorp.

SONDANG HUTAGALUNG

Karya Penyair dan seniman kawakan Landung Simatupang tentang kematian Sondang Hutagalung: sondang yang bakar diri

anak itu bicara dengan tubuhnya, bensin dan api
ia mati di depan hidung kekuasaan
yang berlarut-larut mengecewakan
suka dusta, cucitangan dan ingkar janji

[:) tak apa. semua baik-baik saja
lihatlah barang empat-lima hari
semua juga segera lupa. :)]

bapak, memang begitulah biasanya
tapi yang ini berbeda: memberimu isyarat, bahkan aba
untuk sigap mengubah diri atau menyingkir dini
waktu mendesak, bapak; di mana-mana berkobar api!

SONDANG HUTAGALUNG (1989 - 2011) : http://www.facebook.com/media/set/?set=a.315655111792635.83732.158632180828263&type=3

Untuk Kawan Sondang Hutagalung "PEMBAKAR ISTANA"

Hari ini lahir sebuah kepastian langkah
Kau telah menentukan hari dihidupmu menjadi hari hari kita semua
Abu Jasadmu menafasi perlawanan terhadap penindasan manusia atas manusia
Penindasan rezim atas Bangsanya
Hatimu telah menyenandungkan Harapan dan menelanjangi jiwa angkara berkedok mahkota
Hakikatnya jauh lebih menjijikkan karena membangun luka lama nan seharusnya sirna

Kawan Sondang
Dalam jiwa pejuangmu kamu adalah kamu
Salah satu pengemban percikan darah Soekarno
dan hanya pengecut serta penindaslah yang menyebut kamu mati
Sesungguhnya menelanjangi dunia
Sesungguhnya kau berhasil membakar istana

Kawan Sondang
Tuhan telah menantimu
dan kami mengkafanimu dengan doa

By P Dimas Nugroho