Sesudah shalat malam bersama,
beberapa santri yang besok pagi diperkenankan pulang kembali ke tengah
masyarakatnya, dikumpulkan oleh Pak Kiai di zawiyyah sebuah masjid.
Seperti biasanya, Pak Kiai
bukannya hendak memberi bekal terakhir, melainkan menyodorkan
pertanyaan-pertanyaan khusus, yang sebisa mungkin belum usah terdengar dulu
oleh para santri lain yang masih belajar di pesantren.
"Agar manusia di muka bumi
ini memiliki alat dan cara untuk selamat kembali ke Tuhannya," berkata Pak
Kiai kepada santri pertama, "apa yang Allah berikan kepada manusia selain
alam dan diri manusia sendiri?"
"Agama," jawab santri
pertama.
"Berapa jumlahnya?"
"Satu."
"Tidak dua atau tiga?"
"Allah tak pernah menyebut
agama atau nama agama selain yang satu itu, sebab memang mustahil dan mubazir
bagi Allah yang tunggal untuk memberikan lebih dari satu macam tuntunan."
**
Kepada santri kedua Pak Kiai
bertanya, "Apa nama agama yang dimaksudkan oleh temanmu itu?"
"Islam."
"Sejak kapan Allah
mengajarkan Islam kepada manusia?"
"Sejak Ia
mengajari Adam nama benda-benda."
"Kenapa kau katakan
demikian?"
"Sebab Islam berlaku sejak
awal mula sejarah manusia dituntun. Allah sangat adil. Setiap manusia yang
lahir di dunia, sejak Adam hingga akhir zaman, disediakan baginya sinar
Islam."
"Kalau demikian, seorang
Muslimkah Adam?"
"Benar, Kiai. Adam adalah
Muslim pertama dalam sejarah umat manusia."
**
Pak Kiai beralih kepada santri
ketiga. "Allah mengajari Adam nama benda-benda," katanya,
"bahasa apa yang digunakan?"
Dijawab oleh santri ketiga,
"Bahasa sumber yang kemudian dikenal sebagai bahasa Al-Qur'an."
"Bagaimana membuktikan hal
itu?"
"Para
sejarahwan bahasa dan para ilmuwan lain harus bekerja sama untuk
membuktikannya. Tapi besar kemungkinan mereka takkan punya metode ilmiah, juga
tak akan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan. Manusia telah diseret oleh
perjalanan waktu yang sampai amat jauh sehingga dalam kebanyakan hal mereka
buta sama sekali terhadap masa silam."
"Lantas bagaimana mengatasi
kebuntuan itu?"
"Pertama dengan keyakinan
iman. Kedua dengan kepercayaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam
kehendak Allah."
"Maksudmu, Nak?"
"Allah memerintahkan manusia
bersembahyang dalam bahasa Al-Qur'an. Oleh karena sifat Islam adalah rahmatan
lil 'alamin, berlaku universal secara ruang maupun waktu, maka tentulah itu
petunjuk bahwa bahasa yang kita gunakan untuk shalat adalah bahasa yang memang
relevan terhadap seluruh bangsa manusia. Misalnya, karena memang bahasa
Al-Qur'anlah yang merupakan akar, sekaligus puncak dari semua bahasa yang ada
di muka bumi."
**
"Temanmu tadi
mengatakan," berkata Pak Kiai selanjutnya kepada santri keempat,
"bahwa Allah hanya menurunkan satu agama. Bagaimana engkau menjelaskan hal
itu?"
"Agama Islam dihadirkan
sebagaimana bayi dilahirkan," jawab santri keempat, "Tidak langsung
dewasa, tua atau matang, melainkan melalui tahap-tahap atau proses
pertumbuhan."
"Apa jawabmu terhadap
pertanyaan tentang adanya berbagai agama selain Islam?"
"Itu anggapan kebudayaan
atau anggapan politik bukan anggapan akidah."
"Apakah itu berarti engkau
tak mengakui eksistensi agama-agama lain?"
"Aku mengakui nilai-nilai
yang termuat dalam yang disebut agama-agama itu --sebelum dimanipulasikan--
sebab nilai-nilai itu adalah Islam jua adanya pada tahap tertentu, yakni
sebelum disempurnakan oleh Allah melalui Muhammad rasul pamungkasNya. Bahwa
kemudian berita-berita Islam sebelum Muhammad itu dilembagakan menjadi sesuatu
yang disebut agama --dengan, ternyata, berbagai penyesuaian, penambahan atau
pengurangan-- sebenarnya yang terjadi adalah pengorganisasian. Itu bukan agama
Allah, melainkan rekayasa manusia."
**
Pak Kiai menatapkan matanya
tajam-tajam ke wajah santri kelima sambil bertanya, "Agama apakah yang
dipeluk oleh orang-orang beriman sebelum Muhammad?"
"Islam, Kiai."
"Apa agama Ibrahim?"
"Islam."
"Apa agama Musa?"
"Islam."
"Dan agama Isa?"
"Islam."
"Sudah bernama Islamkah
ketika itu?"
"Tidak mungkin, demikian
kemauan Allah, ada nama atau kata selain Islam yang sanggup mewakili
kandungan-kandungan nilai petunjuk Allah. Islam dan kandungannya tak bisa
dipisahkan, sebagaimana api dengan panas atau es dengan dingin. Karena ia
Islam, maka demikianlah kandungan nilainya. Karena demikian kandungan nilainya,
maka Islamlah namanya. Itu berlaku baik tatkala pengetahuan manusia telah
mengenal Islam atau belum."
**
"Maka apakah gerangan arti
yang paling inti dari Islam?" Pak Kiai langsung menggeser pertanyaan
kepada santri keenam.
"Membebaskan," jawab santri
itu.
"Pakailah kata yang lebih
memuat kelembutan!"
"Menyelematkan, Kiai."
"Siapa yang menyelamatkan,
siapa yang diselamatkan, serta dari apa dan menuju apa proses penyelamatan atau
pembebasan itu dilakukan?"
"Allah menyelamatkan
manusia, diaparati oleh para khulafa' atas bimbingan para awliya dan anbiya.
Adapun sumber dan tujuannya ialah membebaskan manusia dari kemungkinan tak
selamat kembali ke Allah. Manusia berasal dari Allah dan sepenuhnya milik
Allah, sehingga Islam --sistem nilai hasil karya Allah yang dahsyat itu--
dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari cengkeraman sesuatu yang bukan
Allah."
"Apa sebab agama anugerah
Allah itu tak bernama Salam, misalnya?"
"Salam ialah keselamatan
atau kebebasan. Itu kata benda. Sesuatu yang sudah jadi dan tertentu. Sedangkan
Islam itu kata kerja. Berislam ialah beramal, berupaya, merekayasa segala
sesuatu dalam kehidupan ini agar membawa manusia kepada keselamatan di sisi
Allah."
**
Pak Kiai menuding santri ketujuh,
"Tidakkah Islam bermakna kepasrahan?"
"Benar, Kiai,"
jawabnya, "Islam ialah memasrahkan diri kepada kehendak Allah. Arti
memasrahkan diri kepada kehendak Allah ialah memerangi segala kehendak yang
bertentangan dengan kehendak Allah."
"Bagaimana manusia mengerti
ini kehendak Allah atau bukan?"
"Dengan memedomani
ayat-ayatNya, baik yang berupa kalimat-kalimat suci maupun yang terdapat dalam
diri manusia, di alam semesta, maupun di setiap gejala kehidupan dan sejarah.
Oleh karena itu Islam adalah tawaran pencarian yang tak ada hentinya."
"Kenapa sangat banyak orang
yang salah mengartikan makna pasrah?"
"Karena manusia cenderung
malas mengembangkan pengetahuan tentang kehendak Allah. Bahkan manusia makin
tidak peka terhadap tanda-tanda kehadiran Allah di dalam kehidupan mereka.
Bahkan tak sedikit di antara orang-orang yang rajin bersembahyang, sebenarnya
tidak makin tinggi pengenalan mereka terhadap kehendak Allah. Mereka makin
terasing dari situasi karib dengan kemesraan Allah. Hasilnya adalah
keterasingan dari diri mereka sendiri. Tetapi alhamdulillah, situasi terasing
dan buntu yang terjadi pada peradaban mutakhir manusia, justru merupakan awal
dari proses masuknya umat manusia perlahan-lahan ke dalam cahaya Islam. Sebab
di dalam kegelapanlah manusia menjadi mengerti makna cahaya."
**
"Cahaya Islam. Apa itu
gerangan?"
Santri ke delapan menjawab,
"Pertama-tama ialah ilmu pengeahuan. Adam diajari nama benda-benda. Itulah
awal mula pendidikan kecendekiaan, yang kelak direkonstruksi oleh wahyu pertama
Allah kepada Muhammad, yakni iqra'. Itulah cahaya Islam, sebab agama itu
dianugerahkan kepada makhluk tertinggi yang berpikiran dan berakal budi yang
bernama manusia."
"Pemikiranmu lumayan,"
sahut Pak Kiai, "Cahaya Islam tentunya tak dapat dihitung jumlahnya serta
tak dapat diukur keluasan dan ketinggiannya: kita memerlukan tinta yang ditimba
dari tujuh lautan lebih untuk itu. Bersediakah engkau kutanyai barang satu dua
di antara kilatan-kilatan cahaya mahacahaya itu?"
"Ya, Kiai."
"Sesudah engkau sebut Adam,
apa yang kau peroleh dari Idris?"
"Dinihari rekayasa
teknologi."
"Dari Nuh?"
"Keingkaran terhadap ilmu
dan kewenangan Allah."
"Hud?"
"Kebangunan kembali menuju
salah satu puncak peradaban dan teknologi canggih."
"Baik. Tak akan kubawa kau
berhenti di setiap terminal. Tetapi jawablah: pada Ibrahim, terminal Islam
apakah yang engkau temui?"
"Rekonstruksi tauhid,
melalui metode penelitian yang lebih memeras pikiran dan pengalaman secara
lebih detil."
"Pada Ismail?"
"Pengurbanan dan
keikhlasan."
"Ayyub?"
"Ketahanan dan
kesabaran."
"Dawud?"
"Tangis, perjuangan dan
keberanian."
"Sulaiman?"
"Ke-waskita-an, kemenangan
terhadap kemegahan benda, kesetiaan ekologis dan keadilan."
"Sekarang sebutkan yang
engkau peroleh dari Musa!"
"Keteguhan, ketegasan haq,
ilmu perjuangan politik, tapi juga kedunguan dalam kepandaian."
"Dari Zakaria?"
"Dzikir."
"Isa?"
"Kelembutan cinta kasih,
alam getaran hub."
"Adapun dari Muhammad,
anakku?"
"Kematangan, kesempurnaan,
ilmu manajemen dari semua unsur cahaya yang dibawa oleh para perutusan Allah
sebelumnya."
**
Akhirnya tiba kepada santri
kesembilan. "Di tahap cahaya Islam yang manakah kehidupan dewasa
ini?"
"Tak menentu, Kiai,"
jawab sanri terakhir itu, "Terkadang, atau bahkan amat sering, kami adalah
Adam yang sembrono dan nekad makan buah khuldi. Di saat lain kami adalah Ayyub
--tetapi-- yang kalah oleh sakit berkepanjangan dan putus asa oleh perolehan
yang amat sedikit. Sebagian kami memperoleh jabatan seperti Yusuf tapi tak kami
sertakan keadilan dan kebijakannya; sebagian lain malah menjadi Yusuf yang
dicampakkan ke dalam sumur tanpa ada yang mengambilnya. Ada juga golongan dari kami yang telah dengan
gagahnya membawa kapak bagai Ibrahim, tapi sebelum tiba di gudang berhala,
malah berbelok mengerjakan sawah-sawah Fir'aun atau membelah kayu-kayu untuk
pembangunan istana diktator itu."
Pak Kiai tersenyum, dan santri
itu meneruskan, "Mungkin itu yang menyebabkan seringkali kami tersembelih
bagai Ismail, tapi tak ada kambing yang menggantikan ketersembelihan
kami."
"Maka sebagian dari kami
lari bagai Yunus: seekor ikan paus raksasa menelan kami, dan sampai hari ini
kami masih belum selesai mendiskusikan dan menseminarkan bagaimana cara keluar
dari perut ikan."
Pak Kiai tertawa terkekeh-kekeh.
"Kami belajar pidato seperti
Harun, sebab dewasa ini berlangsung apa yang disebut abad informasi. Tetapi isi
pidato kami seharusnya diucapkan 15 abad yang lalu, padahal Musa-Musa kami hari
ini tidaklah sanggup membelah samudera."
"Anakku," Pak Kiai
menyela, "pernyataan-pernyataanmu penuh rasa sedih dan juga semacam rasa
putus asa."
"Insyaallah tidak, Kiai,"
jawab sang santri, "Cara yang terbaik untuk menjadi kuat ialah menyadari
kelemahan. Cara yang terbaik untuk bisa maju ialah memahami kemunduran.
Sebodoh-bodoh kami, sebenarnya telah pula berupaya membuat tali berpeluru Dawud
untuk menyiapkan diri melawan Jalut. Tongkat Musa kami pun telah perlahan-lahan
kami rekayasa, agar kelak memiliki kemampuan untuk kami lemparkan ke halaman
istana Fir'aun dan menelan semua ular-ular sihir yang melata-lata. Kami juga
mulai berguru kepada Sulaiman si raja agung pemelihara ekosistem. Seperti Musa
kami juga belajar berendah hati kepada ufuk ilmu Khidhir. Dan berzikir. Bagai
Zakaria, kami memperpeka kehidupan kami agar memperoleh kelembutan yang karib
dengan ilmu dan kekuatan Allah. Terkadang kami khilaf mengambil hanya salah
satu watak Isa, yakni yang tampak sebagai kelembekan. Tetapi kami telah makin
mengerti bagaimana berguru kepada keutuhan Muhammad, mengelola perimbangan
unsur-unsur, terutama antara cinta dengan kebenaran. Sebab tanpa cinta,
kebenaran menjadi kaku dan otoriter. Sedangkan tanpa kebenaran, cinta menjadi
hanya kelemahan, keterseretan, terjebak dalam kekufuran yang samar, hanyut dan
tidak berjuang."
**
Betapa tak terbatas apabila
perbincangan itu diteruskan jika tujuannya adalah hendak menguak rahasia cahaya
Islam.
"Sampai tahap ini,"
kata Pak Kiai, "cukuplah itu bagi kalian, sesudah dua pertanyaan berikut
ini kalian jawab."
"Kami berusaha, Kiai,"
jawab mereka.
"Bagaimana kalian
menghubungkan keyakinan kalian itu dengan keadaan masyarakat dan negeri di mana
kalian bertempat tinggal?"
"Kebenaran berlaku hanya
apabila diletakkan pada maqam yang juga benar. Juga setiap kata dan gerak
perjuangan," berkata salah seorang.
"Sebaik-baik urusan ialah di
tengah-tengahnya, kata Rasul Agung. Harus pas. Tak lebih tak kurang,"
sambung lainnya.
"Muhammad juga mengajarkan
kapan masuk Gua Hira, kapan terjun ke tengah masyarakat," sambung yang
lain lagi.
"Mencari titik koordinat
yang paling tepat pada persilangan ruang dan waktu, atau pada lalu lintas
situasi dan peta sejarah."
"Ada dakwah rahasia, ada dakwah
terang-terangan.
"Hikmah, maw'idhah hasanah,
jadilhum billati hiya ahsan."
"Makan hanya ketika lapar,
berhenti makan sebelum kenyang. Itulah irama. Itulah sesehat-sehat kesehatan,
yang berlaku bagi tubuh maupun proses sejarah."
"Perjuangan ialah mengetahui
kapan berhijrah ke Madinah dan kapan kembali ke Makkah untuk kemenangan."
"Dan di atas semua itu,
Rasulullah Muhammad bersedia tidur beralaskan daun kurma atau bahkan di atas
lantai tanah."
Pak Kiai tersenyum, "Apa titik
tengah di antara kutub kaku dan kutub lembek, anak-anakku?"
"Lentur, Kiai!"
kesembilan santri itu menjawab serentak, karena kalimat itulah memang yang
hampir setiap hari mereka dengarkan dari mulut Pak Kiai sejak hari pertama
mereka datang ke pesantren itu.
"Fal-yatalaththaf!"
ucap Pak Kiai akhirnya sambil berdiri dan menyalami santri-santrinya satu per
satu, "titik pusat Al-Qur'an!"
1987
Emha Ainun Nadjib