Pacaran sebuah kata yang sangat menarik untuk dibicarakan. Sekan tak ada
usainya, sepanjang roda dunia ini masih berputar. Pro-kontra
mengenainya pun sudah ada sejak pacaran itu sendiri ada, yang menurut
saya sudah ada sejak diciptakannya Hawa –ibu bangsa manusia. Adalah hal
yang wajar bagi generasi muda untuk selalu ingin tahu tentang segala
sesuatu, bahkan akan menjadi aneh bila orang muda tidak ingin banyak
tahu. Demikian juga tentang pacaran, generasi
muda Islam saat ini pun seringkali menanyakan hal pacaran. Namun
kebanyakan yang ditanyakan adalah mengenai fikih pacaran. Intinya
kebanyakan mereka bertanya, “Sebenarnya boleh tidak sih, pacaran itu?�?
atau, “Ada tidak sih pacaran yang Islami itu?�? dan pertanyaan lain yang
senada. Jawaban sang ustadz pun berbeda-beda. Ada yang dengan keras
melarang dengan mengatakan “Pacaran itu haram!�? ada juga yang agak
“remang-remang�? boleh lah asal tidak kebangetan. Namun saya sangat
tertarik dengan jawaban Ustadz Wijayanto mengenai pertanyaan ini. Beliau
menjawab pertanyaan itu dengan jenaka dan diplomatis, “Dalam Islam
tidak ada larangan maupun anjuran untuk berpacaran. Tidak ada dalil yang
mengatakan ‘wala pacaranu inna pacaranu minassyayatiin’ atau
‘fapacaranu, inna pacaranu minattaqwa’ .�? Saya sepakat mengenai hal
ini, karena memang pacaran itu sendiri tidak jelas definisinya. Cobalah
Anda tanya pada beberapa anak SMP atau SMA dari berbagai komunitas dan
kelompok. Pasti akan muncul berbagai definisi berbeda mengenai pacaran.
Ada yang bilang pacaran itu jalan bareng sama seseorang yang kita cintai
dan mencintai kita. Wah berarti jalan bareng sama bapak ibu juga
pacaran dong? Yang lain bilang pacaran itu menyepi, ngobrol berduaan
dengan kekasih hati. Nah yang ini malah sering dilakukan sama Pak Ustadz
dan santri-santrinya saat sepuluh hari terakhir Ramadhan, alias
iktikaf. Ada juga yang bilang pacaran itu ketemu dengan orang yang kita
cintai, entah rame, entah sepi, pokoknya ketemu trus ngobrol, bertukar
pikiran, atau diskusi. Naah… yang ini malah mirip acaranya anak-anak
TSC* saban sore tuh! Sementara yang lain bilang pacaran itu jalan
bareng, makan, atau nonton, atau shopping di mall bareng kekasih hati.
Yaaa… yang ini sih acaranya anak borju, kelaut aje…. So, karena gak ada
definisi jelas tentang pacaran, maka hukum pacaran sendiri jadi gak bisa
begitu saja diputuskan. Kata Dr. Yusuf Qardhawi jangan mudah
mengharamkan sesuatu, apalagi yang belum jelas definisinya. Nah,
sekarang coba kita rumuskan definisi umum pacaran, alias akan adakah
benang merah yang dapat kita tarik dari timbunan terigu kebingungan
kita. Atau tepatnya, kita mencoba mencari irisan dari semua himpunan
definisi yang tadi udah kita cari, yang ternyata jumlahnya banyak dan
beda-beda semua. Akan saya coba rumuskan bahwa pacaran itu adalah
interaksi antara dua orang manusia berbeda jenis kelamin yang saling
mencintai sebelum menikah. Karena dari berbagai definisi tadi yang cukup
mewakili untuk disebut sebagai irisan adalah kata interaksi, saling
mencintai dan berlainan jenis kelamin, serta belum menikah. Atawa kita
sebut aja interaksi pra-marital dengan dasar saling ketertarikan atau
saling mencintai. Nah dengan definisi ini akan mudah bagi kita untuk
mengetahui hukum pacaran itu, atau adakah pacaran yang Islami itu.
karena sekali lagi dalam Islam tidak pernah diatur, atau ada dalil yang
melarang “pacaran�?. Yang ada dalam Islam adalah aturan-aturan dalam
berinteraksi dengan manusia. Bagaimana kita berinteraksi dengan orang
tua, dengan teman, guru, Nabi, semua ada aturannya dalam Islam.
Interaksi yang sesuai dengan kaidah Islam berati Islami, sementara yang
tidak sesuai adalah tidak Islami. Dengan definisi dasar bahwa pacaran
itu adalah interaksi dan saling mencintai, maka pacaran secara dasar
hukum adalah netral. Karena interaksi dalam Islam itu adalah netral,
akan tergantung bentuknya. Sementara tidak ada larangan bagi umat Islam
untuk mencintai lawan jenisnya. Dengan demikian sekali lagi pacaran
adalah netral, tergantung bagaimana kita melakukannya. Dengan netralnya
pacaran, berarti pula ada pacaran yang Islami dan ada pacaran yang tidak
Islami. Lebih lanjut lagi jika kita tinjau dari segi asal kata, pacaran
berasal dari kata dasar “pacar�?, yang artinya kurang lebih adalah
seseorang –lawan jenis tentunya- yang kita cintai namun belum menikah
dengan kita. Maka semakin jelaslah bahwa pacaran itu adalah netral.
Karena sekali lagi bahwa mencintai seseorang lawan jenis adalah tidak
terlarang dalam Islam. Seperti kisah Umar bin Abu Rabi’ah tentang
seorang pemuda Arab yang lagi jatuh cinta, yang dilukiskan dengan begitu
indah di dalam buku “Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam
Rindu�?, yang terkenal itu. Baca sendiri dah kisahnya, gak kalah
romantis sama kisah Romeo dan Juliet yang fiksi itu. Selanjutnya pula
berati pernyataan bahwa tidak ada pacaran Islami, atau tidak ada pacaran
dalam Islam itu kurang tepat. Atau lebih tepatnya, adalah sepihak
pernyataan yang menyatakan tidak ada pacaran Islami itu, karena setelah
kita kaji lebih lanjut, ternyata kata pacaran itu sendiri bersifat
netral, seperti halnya seni. Seni dalam Islam adalah netral, tergantung
bagaimana kita melakukannya, bisa jadi seni itu haram, ketika seni
tersebut tidak sesuai kaidah Islam, namun juga sebaliknya. Namun
kemudian muncul pandangan baru yang menyatakan tidak boleh mencintai
lawan jenis sebelum menikah! Sebuah pernyataan yang agak naif dan sulit
untuk dibenarkan. Selain tidak ada dalil naqli-nya, juga sangat lemah
dalam logika manusiawi. Sederhana saja, Nabi memerintahkan kita
“Wanita-wanita dinikahi karena kecantikannnya, hartanya, nasabnya, dan
agamanya….�? dan seterusnya sampai akhir hadits. Dari potongan hadits
tadi dapat kita simpulakn bahwa Nabi menyuruh kita untuk memilih wanita
–dalam hal ini untuk pria- yang akan kita nikahi. Apa artinya memilih?
Memilih artinya mengunakan kecendrungan –rasa- untuk memutuskan pilihan
dari beberapa variabel yang ada. Misalnya saja saat Anda ingin membeli
mie ayam, dari sekian banyak warung mie ayam, Anda akan memilih warung
yang paling Anda sukai (baca: cintai). Adapun mengapa Anda membuat
pilihan itu, akan ada banyak variabel yang membuat Anda menentukan
pilihan itu. Misalnya saja karena rasanya enak, warungnya bersih, atau
karena penjualnya ramah. Nah akumulasi dari variabel yang Anda jadikan
ukuran itu disebut rasa, hasrat, atau cinta. Artinya Anda lebih
mencintai untuk makan mie ayam di tempat X ketimbang di tempat lain.
Demikian juga dalam memilih pasangan hidup, Andapun akan punya banyak
variabel yang menjadi ukuran dalam menentukan pilihan Anda. Misalnya
saja, Anda memilih yang cantik –ini pun akan sangat subjektif, misalnya
saja cantik menurut Anda adalah yang tinngi, semampai, manja dan
imut-imut serta ceria-, yang muslimah, yang kaya, atau yang anak Pak
Lurah. Nah akumulasi dari kriteria yang Anda jadikan ukuran inilah yang
disebut dasar cinta atau sebab cinta. Anda akan lebih mencintai seorang
gadis yang cantik, muslimah, kaya, dan anaknya Pak Lurah, ketimbang
gadis lain yang tidak sesuai dengan kriteria Anda ini. Artinya apa?
Tidak mungkin Anda memilih seorang istri atau suami tanpa mencintainya
terlebih dahulu sebelum menikah! Jika tidak, maka Anda akan segera
bercerai! Kisah ini sudah ada di zaman Nabi dahulu. Dimana perceraian
rumah tangga seorang sahabat terjadi karena memang sang istri tidak
mencintai sang suami. Seperti dalam kisah pernikahan Tsabit bin Qais
dengan Habibah binti Sahl yang terpaksa harus berakhir karena Habibah
tidak mencintai Tsabit. Dan ini diperkenankan Nabi. Artinya Nabi jelas
menginginkan suatu rumah tangga itu dibangun atas dasar saling cinta.
Nah untuk mencegah perceraian yang cukup tragis seperti ini perlulah
sebuah pernkahan itu dibangun atas dasar saling mencintai. Sebenarnya
inti dari resistensi kalangan aktivis yang menolak pendapat saya adalah,
bahwa mereka menganggap terobsesi pada seseorang akibat cinta mendalam
itu adalah sebuah dosa. Mereka menganggap bahwa mencintai seseorang
sampe gak bisa tidur, gak doyan makan, adalah sebuah big sin, dosa
gedhe. Alasannya, nanti kalao ibadah ntar jadi gak ikhlas, niatnya
karena si yang dicintai itu, bukan karena Allah. Ujung-ujungnya ntar
bisa syirik. Whii syerem gitu. Padahal kalau mau jujur, sebenarnya bukan
cuma cewek or cowok kita yang bisi bikin niat kita jadi gak bener.
Ustadz, babe, nyak, engkong, encing, dosen, murabbi, temen, jamaah di
masjid, semua bisa bikin kita punya niat jadi gak lurus. Bahkan
anak-anak dan preman yang nongkrong di pinggir jalan dan sering godain
kita, saat kita brangkat ke masjid bisa bikin kita jadi brubah niat jadi
arogan dan pengen dikatain “Tuh yang ahli surga, kerjanya ke mesjid
mulu!�?. Sementara di dalam hati tanpa sadar kita bilang “Ntar loe pade
jadi kerak nerake, gare-gare kagak pernah jamaah di masjid, mampus
loe!�?. Artinya sale besar kalo menjadikan cinta kita pada kekasih kita
menjadi satu-satunya penyebab utama melencengnya niat kita. Sementara
itu gak pernah ada yang bingung dan ribut melarang kita punya murabbi,
dosen, guru, temen, yang juga bisa bikin niat kita melenceng. Padahal
kalau mereka membaca sejarah para sahabat, seharusnya mereka tidak
mempunyai pendapat seperti itu, banyak juga para sahabat yang truly,
madly, deeply, loving a woman. kita simak lagi sejarahnya Abdullah bin
Abu Bakar yang begitu love-nya sama Atikah sehinga saat dipaksa bercerai
(yang artinya saat itu Atikah bukan apa-apanya Abdullah, tidak ada
ikatan pernikahan) oleh ortunya –yang khawatir Si Abdul jadi over loving
her and forget Lord- jadi seperti orgil. Suka ndomblong di depan rumah
dengan tatapan kosong, ra doyan maem, bikin syair tentang rindu. Toh gak
ada yang nuduh Abdullah jadi rada sesat gara-gara itu. Malah akhirnya
mereka dirujukkan kembali, artinya babenya Abdul tidak ngelarang cinta
mereka. Ini juga menyangkal anggapan mereka yang mengatakan boleh cinta
tapi tidak boleh mengekspresikannya sebelum menikah. Buktinya Abdul juga
bikin puisi cinta, dan juga ekspresi sedihnya yang jelas menunjukkan
kerinduannya pada sang kekasih hati. Dengar juga komentar sang Pintu
Kota Ilmu, Ali bin Abi Thalib, saat pernikahan Atikah dengan Umar bin
Khattab. Minta ijin sama si suami tuk sekedar nginjen manten perempuan
and bilang, “Wahai wanita yang berada di tempat yang tinggi, aku
bersumpah tak akan mengalihkan pandanganku darimu agar kulitku
menguning…�? what a love?!! Belum puas? Baca kisah Umar bin Abdul Aziz
yang terobsesi pada seorang budak yang cantik, walaupun akhirnya dia
mengembalikannya pada keluarganya. Baiknya jangan menjadi orang yang
ramutu dan mengingkari fitrah dan mengada-adakan dalil yang ngelarang
kita mencintai lawan jenis sebelum menikah. Bahkan Utsman bin Affan pun
berkata bahwa dirinya adalah seseorang yang amat suka pada wanita.
Mencintai bukanlah sebuah dosa. Dosa itu adalah ketika kita, melakukan
khalwat, bersentuhan, berkata-kata dengan menggoda, dan zina itu
sendiri. Jangan ghuluw dengan membuat batasan-batasan yang tidak pernah
disyariatkan oleh Allah dan RasulNya. Cukuplah apa yang Allah dan
rasulNya berikan. Ikatan hati sebelum nikah bukanlah sebuah dosa. Dosa
adalah perbuatan yang melanggar secara hukum fikih, dan dosa urusan
Allah dengan hambanya. Ikatan hati selama dalam koridor syariat tiada
berdosa. Namun muncul perdebatan lain. Mencintai lawan jenis akan
mengalahkan cinta kita kepada Allah. Saya pikir ini sangat subjektif.
Namun dapat kita ukur dengan mudah. Caranya? Mudah saja, ketika Anda
mencintai seseorang, apa yang menjadi ukuran Anda untuk mencintainya.
Misalnya saja Anda mencintai seorang gadis karena dia seorang gadis
muslimah dan berjibab, suka mengaji dan berdakwah, santun akhlaknya.
Jelaslah bahwa Anda lebih mencintai Allah ketimbang si gadis. Karena
yang menjadi ukuran Anda untuk mencintai si gadis adalah ukuran-ukuran
yang telah diberikan Allah. Ketika kemudian si gadis menjadi tidak
berjilbab, nakal, dan urakan, maka cinta Anda pada si gadis akan luntur,
dan Anda akan bilang pada si gadis, “Kalo Loe kagak berubah, kelaut
aje….�? karena si gadis sudah tidak lagi sesuai dengan ukuran-ukuran
yang Anda jadikan kriteria untuk mencintainya. Jika Anda memang
mencintai si gadis lebih dari Allah maka akan mudah saja. Anda akan
menerima si gadis apa adanya. Entah dia ndugal, urakan, pakaian mini,
gaul bebas, gak peduli! Yang penting saya cinta dia. Naaah kalau sudah
begini barulah cinta ini berbahaya, dan harus segera direvisi. Lain lagi
dengan seorang teman saya. Dia mencintai seorang gadis namun karena si
gadis ternyata baru memenuhi sebagian dari ukuran-ukuran cintanya, maka
dia berkata pada saya “Saya tidak bisa mencintainya karena dia belum
sesuai dengan ketentuan Tuhan saya.�? Kemudian saya bilang, “Lo, kenapa
tidak Kamu buat dia menjadi sesuai dengan syariat Tuhan, ajarin dia
dong! Ajak ngaji. Kan Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
kecuali dia berusaha mengubahnya.�? Dia balas menjawab, “Saya takut saya
mengubahnya bukan karena Tuhan saya tetapi karena saya mencintai dia.�?
Kedengarannya teman saya ini benar. Namun coba Anda renungkan lagi,
sebenarnya dia berbuat itu untuk siapa? Untuk si gadis atau untuk Tuhan?
Saya akan dengan mantap bilang “Jika Anda berusaha mengubah dia agar
sesuai dengan syariat Tuhan, maka Anda telah berbuat untuk Tuhan!�?
mengapa? Karena apa yang Anda lakukan itu agar dia sesuai dengan
kehendak Tuhan arinya jelas-jelas Anda lebih mencintai Tuhan ketimbang
si gadis. Jika Anda berbuat itu karena si gadis, buat apa repot-repot
mengajak ngaji dan sebagainya. Karena Anda kan segera meneriama si gadis
apa adanya. Entah dia sesuai atau tidak dengan aturan Tuhan. Nahhh,
setelah tulisan yang panjang dan bertele-tele ini, kembali kita ke judul
utama. Ada tidak sih pacaran Islami itu? Saya akan berani menjawab ada!
Jadi tidak tepat kalau banyak aktivis dakwah secara “madju tak gentar�?
mengkampanyekan anti pacaran. Karena memang yang namanya pacaran itu
adalah sesuatu yang netral. Lebih tepat kalau aktivis dakwah
mengakampanyekan secara progresif tentang aturan berinteraksi di dalam
Islam. Sehingga objek dakwah menjadi lebih tahu, apa sih yang boleh dan
apa sih yang tidak boleh. Bukannya menambah kebingungan yang berujung
sikap menolak dakwah karena apa yang dikampanyekan tidak jelas dasar
hukumnya. Gimana? Setuju? Seandainya Anda tidak setuju maka marilah kita
dialogkan, mungkin saja saya banyak kekurangan referensi dan kekhilafan
logika. Sesungguhnya segala sesuatu itu kembali pada-Nya. Dan hanya Dia
lah Yang Maha Benar, pemilik kebenaran sejati. Kita hanya mencoba
mengais setetes kebijaksanaan-Nya di tengah samudera Maha Bijak-Nya.
Semoga Tuhan mengampuni semua dosa saya, Anda dan saudara kita semua.
And semoga saja tulisan saya ini ada manfaatnya… ciao!!!
http://fauzansa.wordpress.com/2005/11/09/tidak-ada-pacaran-islami-between-myth-and-fact/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar