Jumat, 25 November 2011

Kunang kunang di Cicinde

Di Cicinde, ada anggapan bahwa manusia paling kuat di dunia ini adalah petani, karena dia menyambung tali kehidupan jutaan manusia. Bayangkan kalau di muka bumi ini tidak ada orang yang menjadi petani, maka kehidupan pelan-pelan akan punah. Tidak ada beras, tidak ada gandum, sayur-sayuran, buah-buahan dan yang lain-lainnya.

“Beras kita tinggal seliter, Bah. Paling hanya cukup sampe besok aja.” Dari balik dinding bilik menerobos dialog pendek milik sepasang orang tua kurus-kering. Yang tadi bicara, ia seorang perempuan tua. Rambut di kepalanya sudah jarang-jarang. Dan warna hitamnya pudar menjadi putih. Sepasang pipinya kempot tidak berdaging.

Dari tangan kecil perempuan itu tersuguh secangkir besar teh pahit yang diletakan di hadapan suaminya. Seorang laki-laki yang tidak kalah kerempengnya namun kelihatan masih tegar penuh tenaga. Seluruh rambut di kepalanya berguguran menyisakan tulang kepala berbalut kulit yang berkilat-kilat.

“Ngutang aja dulu ke warung si Cicih. Abah uangnya udah dikasihin sama si Maman buat beli pupuk,” yang diajak bicara tetap asik mengepulkan gumpalan demi gumpalan asap dari udud kawungnya. Sebelah kaki menekuk menopang tangan kiri yang menjepit sebatang rokok. Sedang melamun rupanya. Dan bahan lamunannya ditunjukkan oleh tatapan matanya yang hinggap pada sebuah bingkai poto yang sudah kusam yang tergantung di dinding bilik yang juga sudah berwarna kehitam-hitaman. Si bungsu yang bernama Asep, anak kesayangannya yang tercetak di dalam foto itu, seperti sedang membalas tatapannya. Dua orang kakaknya semua perempuan. Sudah menikah dan sudah pula diboyong suami masing-masing.

Kata mak Diyah, istrinya yang teramat setia ini, anak perempuan juga rejeki pemberian yang Maha kuasa yang wajib disyukuri. Abah Sarta mengerti. Ustadz di musholanya juga selalu berkata begitu kalau sedang mengadakan pengajian rutinan. Tapi abah Sarta berkilah, syukurnya akan lebih mantap kalau seorang saja di antara bayi yang keluar dari rahim istrinya adalah anak laki-laki. Dengan begitu akan ada yang meneruskan jejak langkahnya membalik lumpur di sawah menyemai benih-benih kehidupan.

Tetapi pada kelahiran yang ketiga, Gusti Allah rupanya mengabulkan permintaan abah Sarta. Si jabang bayi yang menengok dunia sambil melengkingkan tangis suka citanya ternyata berkelamin laki-laki. Betapa riang gembiranya abah Sarta. Mulutnya tak henti tersenyum kalau bertemu dengan orang yang menanyakan jenis kelamin si bayi. Sebagai bentuk rasa syukurnya, ia sembelihkan seekor kambing.

Sementara untuk namanya abah Sarta sudah punya pilihan, yaitu Asep. Yang artinya kasep, atau ganteng. Seperti itulah kira-kira harapannya kalau si anak sudah besar nanti. Ganteng sampai ke akhlak-akhlaknya alias berbakti kepada dua orang tuanya yang sudah renta ini.

Kalau kakak-kakaknya sekolah tamat SD saja cukup, si Asep tidak. Sekolahnya tinggi, sampai menjelajah ke SMU yang jauh ada di kota. Untuk segala macam biayanya, abah Sarta bahkan sampai rela menjual satu dari tiga kotak sawah yang dimilikinya.

“Abah nggak menyesal. Ini semua demi si Asep. Kalau pendidikannya tinggi, siapa tau rejekinya juga ikut tinggi,” kata abah Sarta menggemakan mimpi kepada istrinya waktu sang istri menanyakan apakah di kemudian hari nanti dirinya tidak menyesal sudah menjual sebagian ladangnya.

Tetapi waktu senantiasa berubah dan tabiat manusiapun ikut pula berubah. Sekarang abah Sarta harus menjilat ludahnya sendiri. Pasalnya, sang putra yang amat dibanggakan itu, tega sekali mematahkan harapan yang sudah terlanjur jauh dibentangkan abahnya ini.

“Bagaimana sekarang keadaannya si Asep, Yah?” Pertanyaan abah Sarta terlontar dari sumur lamunannya yang dalam sarat kekosongan.

“Abah jangan mikirin dia terus. Si Asep belum juga sebulan pergi ke kota. Mudah-mudahan aja dia cepet dapet kerja kayak si Ujang,” istrinya menjawab sekaligus pula untuk menenangkan gundah-gulana yang mencengkeram suaminya.

“Maksud abah bukan begitu. Abah akan bahagia kalo dia di desa aja jadi petani kayak abah. Rasanya kalo anak kerja jauh begitu, abah suka kepikiran terus. Takut kenapa-kenapa. Anak itu kan baru sekali ini merantau ke kota.”

Mak Diah tertawa. Menyembul sebagian giginya sisa-sisa ompong.

“Abah ini gimana. Si Asep itu nyari kerja di kota buat masa depannya. Kita doain aja mudah-mudahan dia cepet sukses dan jadi orang kaya. Habis kalo di kampung terus dia mau ngapain? Mending kalo orang tuanya kaya-raya, punya sawah luas, duitnya banyak, kehidupan dia akan terjamin. Ini, kita buat makan sendiri aja cuma pas-pasan.”

Mang Sarta tidak menjawab. Mulutnya sibuk mengepulkan asap udud kawungmya lagi. Tetapi dalam hati dia tidak memungkiri apa yang istrinya katakan. Sawah mereka yang cuma beberapa kotak makin kesini makin tidak menghasilkan apa-apa. Padi memang ‘berbuah’. Tapi kadang Wereng, Tikus, atau Keong emas mendului mereka, berpesta menyedot satu demi satu biji-biji padi itu. Sisanya hanya batang-batang padi yang sudah coklat mengering seperti mayat yang menunggu dikubur.

Bukan itu saja, kadang pupuk juga tiba-tiba menghilang seperti mahluk halus. Seluruh toko pupuk dijelajahi, sepotong kaleng pun tidak diketemukan. Kalau juga ada harganya pasti sudah naik bertingkat-tingkat. Untuk bisa membelinya abah Sarta kadang terpaksa harus utang dulu kepada Haji Rosid, tengkulak yag merajai kampungnya, dengan syarat pada waktunya panen abah Sarta harus menjual gabahnya kepada dia.

Dan sudah bisa ditebak, ketika panen tiba si Haji Rosid itu seenaknya saja memainkan harga. Si harga ditekuknya hingga merendah-rendah. Abah Sarta tak berdaya. Keluhnya menjadi kian tak berujung.

Nasi timbel yang akan dibawa sebagai bekal ke sawah sekarang telah selesai dibungkus dengan menggunakan daun pisang. Isinya berupa sambel, ikan asin, dan seikat daun lalap-lalapan. Supaya tidak kesorean, Abah Sarta segera pamit pergi sambil berpesan supaya si Maman, menantunya, cepat-cepat membeli pupuk agar tidak kehabisan lagi. Kabarnya pupuk ini kiriman langsung dari pemerintah yang harganya lebih murah karena sudah disubsidi.

Istrinya mengiyakan. Abah Sarta melangkah dengan pacul di pundak kiri dan rantang makanan menggelantung di tangan kanan. Baju dan celananya berwarna serba hitam yang disana-sini belepotan oleh noda-noda lumpur yang sudah mengering. Melongok keatas, kepala yang sudah seperti bola sepak tampak ditutupi caping. Seperti itulah seragam kebesaran serdadu-serdadu pengawal dan pemelihara dewi Sri, sang Dewi padi.

Jalan setapak menuju sawah harus melalui hutan bambu tempat burung-burung Manyar berkumpul. Sore-sore begini biasanya adalah waktunya mereka pulang ke sarang. Seantero hutan bambu akan ramai oleh celotehannya. Terkadang angin yang bertiup dari arah selatan juga ikut ‘nimbrung’ menggoyang-goyangkan pucuk pepohonan bambu menimbulkan suara yang bergemeresik, naik turun seperti suara orkestra.

Sudah ribuan kali abah Sarta mendengar harmonisasi alam itu. Tidak bosan, tapi juga tidak ada waktu untuk menghayatinya. Di ujung jalan setapak sudah terlihat hamparan biru warna langit pertanda tujuannya sudah dekat.

Tiba di tepi galengan, pematang sawah, abah Sarta buka capingnya untuk membiarkan angin pesawahan yang sejuk menerpa dadanya. Ke manapun mata memandang yang tampak hanyalah kemilau padi-padi yang menguning laksana hamparan permadani berbatas gunung dan barisan pepohonan di kejauhan. Burung-burung Pipit terlihat beterbangan dari sawah yang satu ke sawah yang lain sambil bercicit nyaring diikuti kawanannya. Ada pula suara Bancet, Kodok kecil, merepet-repet saling bersahutan.

Bayangan anak burung yang masih kecil itu menautkan lagi pikiran abah Sarta kepada si Asep. Waktu kecil pun ia sering mengajaknya menengok sawah. Mencarikannya Belut atau Kepiting agar si Asep bisa gembira. Harapannya besar sekali si anak kalau sudah dewasa nanti akan mengikuti jejak bapaknya menjadi petani. Tetapi petani yang pintar supaya bisa membantu orang-orang disini melepaskan diri dari jeratan tengkulak.

Ya, di sini tengkulak seperti haji Rosid itu lagaknya seperti penyamun yang bermuka dua. Pada waktu masa tanam padi tiba, hatinya begitu baik penuh ketulusan. Semua petani disambanginya dengan keramahan. Ditanyai satu persatu apa-apa yang mereka perlukan. Pupuk, bibit, traktor, semua ditawarkan oleh haji Rosid. Tidak punya uang bukan suatu masalah. Kadang kalau diberi kontan pun haji Rosid suka menolak. Katanya pakai saja dulu uang itu untuk keperluan lain yang lebih penting. Seperti urusan sekolah anak, dapur, atau keperluan pribadi lainnya. Orang yang baru mengenalnya akan gampang terpesona.

Namun ketika tiba masanya padi dipetik, tampaklah tabiat aslinya yang serupa Dasamuka. Petani yang sudah terjerat utang, tidak boleh menjual hasil panennya ke pihak lain. Harus selalu kepada dirinya. Tak seorangpun ada yang berani menentang.

Kemudian si Asep yang tadinya hendak dijadikan sarjana pertanian oleh abah Sarta supaya bisa melawan si tengkulak itu, ternyata makin tinggi badannya, makin tak tertarik menyelami seluk-beluk sumber kehidupan orang tuanya ini. Apalagi kalau harus belepotan lumpur. Paling benci. Pabrik-pabrik di perkotaan lebih deras menarik minat hatinya.

Seperti gambar film yang diputar ulang, di pelupuk mata abah Sarta tergambar lagi pertengkaran dengan si bungsu itu pada suatu malam. Bulat rupanya tekad si Asep hendak mengikuti jejak kawan-kawan sedesanya merantau ke kota menjadi buruh pabrik. Tiap bulan gajian, tiap bulan gajian tanpa harus pusing-pusing memikirkan hama, harga pupuk yang terus naik, atau hujan yang enggan menengok bumi.

“Kalo tetep jadi petani, hidup kita akan miskin terus, Pak. Nggak usah jauh-jauh, bapak lihat aja nasib bapak sendiri. Puluhan tahun menjadi petani, tivi aja nggak kebeli. Yang kaya malah para tengkulak bajingan itu yang mencekik orang-orang seperti bapak. Tiap tahun harga beras naik, tapi apa itu bisa menjadikan bapak kaya? Yang ada bapak malah terus gali lobang tutup lobang. Coba kalo jadi karyawan, si Ujang malah udah bisa ngeridit motor sendiri. Apa bapak nggak pengen hidup kita bisa maju seperti itu?” Asep tetap ngotot dengan kehendaknya menjejakan kaki di kota. Hatinya kaku seperti besi yang tidak bisa dibelokan.

“Tapi Abah nggak punya uang, Sep,” keluh abah Sarta mencoba mempertahankan buah hatinya itu.

“Tapi Abah kan masih punya sawah tiga kotak? Jual aja satu, Bah.”

Hati abah Sarta serasa diiris mendengarnya. Wajahnya sendu serupa perawan yang di tinggal mati kekasihnya. Tega sekali anaknya berkata demikian. Tidakkah anak itu menyadari, sawah itu baginya sama dengan nyawa kedua.

Tetapi abah Sarta yang pada dasarnya amat menyayangi putranya itu, mengalah. Besoknya, satu kotak sawahnya dia gadaikan kepada haji Rosid.

Kata si Asep, uang hasil gadai sawah itu akan dipergunakan untuk menyogok orang yang akan mempekerjakannya di pabrik. Sudah biasa, di kota segala urusan kalau ingin lancar mengalir, harus ada pelicinnya. Uang sabun istilahnya.

Abah Sarta sudah tak ingin mendengarnya. Ia sedih. Bayangkan, anak kesayangan yang diharap akan meneruskan jejak langkahnya kini bersimpangan langkah. Lantas siapa yang akan menjaga dan mengolah ladangnya di masa depan nanti? Petani seperti dirinya yang lemah dan bodoh, seumur hidup tetap saja jadi mainan tengkulak. Beda dengan anak-anak muda yang penuh semangat dan berani melakukan perlawanan kalau berjumpa dengan ketidak adilan.

Jadi, meski lahan sawahnya hanya menumbuhkan harapan semu bak gugusan pelangi, abah Sarta bertekad akan menghabiskan sisa hidupnya sebagai petani. Dia akan tetap mencangkul dan membalikan tanah barangkali dibaliknya terdapat benih-benih kebahagiaan yang selama ini ia cari.

“Mang Sarta, sendirian wae?!” Tiba-tiba ada teriakan yang sayup-sayup sampai terbawa angin, menyapanya. Soleh, tetangganya, sambil mencuci cangkulnya di irigasi menyempatkan diri melambaikan tangannya.

"Iyaaa. Si Maman saya suruh beli pupuk dulu. Takut kehabisan lagi!” Mang Sarta membalas teriakannya sekaligus membebaskan jiwanya dari belenggu lamunannya sendiri. Sembari menghirup udara segar, ia berdiri memandangi hamparan sawahnya. Panen tinggal satu bulan lagi. Mang Sarta terlihat sedikit bahagia. Panen tahun ini sepertinya akan bagus. Padi-padi terlihat montok berisi. Hama juga tidak seberapa. Hasilnya nanti pasti akan cukup untuk membayar hutang-hutangnya kepada haji Rosid.

Mang Sarta masuk ke saung. Minggu-minggu ini dia tinggal mengawasi saja sumber energi dapurnya ini dari serbuan burung-burung pipit yang bandel. Tidak perlu harus mengusirnya habis-habisan karena burung-burung itu juga mahluk Tuhan yang sama membutuhkan makan. Kalau jumlahnya sudah keterlaluan, barulah mang Sarta akan menarik tali yang dihubungkan dengan bebegig, orang-orangan sawah, yang ditancapkan di tengah-tengah kotakan sawah dan digantungi kaleng-kaleng berisi kerikil. Kalau digoyangkan kaleng-kaleng itu akan mengeluarkan suara berkerontangan yang bisa terdengar dari ujung ke ujung. Bahkan mungkin angin membawanya sampai ke puncak gunung yang berdiri megah di kejauhan.

Soleh yang bajunya belepotan lumpur, masuk ke saung dan duduk di samping abah Sarta.

“Gimana kabarnya si Asep sekarang, Mang? Udah dapet kerja belum?”

“Belum tau. Si Asep belum ada ngirim kabar. Emang ada apa, Leh?”

“Saya ingin ikut dia, Mang. Barangkali aja masih ada lowongan. Kerja di sawah nggak bisa diandelin. Buat makan sehari aja nggak cukup.”

Abah Sarta mengerti niat Soleh. Soleh hanya penggarap saja, bukan pemilik lahan. Tentu hasil dari paroan panen itu tidak akan mencukupi untuk menjaga agar dapurnya tetap hangat. Beruntung Soleh belum punya anak sehingga bebannya terasa tidak terlalu menghimpit. Tetapi istrinya sedang mengandung tujuh bulan. Sekitar dua bulan lagi akan melahirkan bayi pertamanya. Itu artinya dikantong harus ada uang ratusan ribu. Bahkan kalau melahirkannya sampai harus masuk rumah sakit, ongkosnya sudah jelas jutaan. Dan uang itu tidak muncul dari sawah yang setiap hari digarapnya ini.

Sedang mereka mengobrol, tiba-tiba Maman yang di suruh belanja pupuk oleh mang Sarta tergopoh-gopoh menuju kearah mereka. Kakinya beberapa kali terpeleset di galengan yang licin.

“Kamu kenapa, Man, lari-larian begitu kaya dikejar macan?”

“Itu Abah... pupuknya....”

“Iya, kenapa pupuknya? Tumpah?”

“Bukan, bukan tumpah. Tapi pupuknya teh udah habis lagi ada yang ngeborong. Di toko haji Rosid ada. Tapi harganya udah naik dua kali lipat. Gimana atuh, uangnya jadinya nggak cukup.”

Tak langsung menjawab, abah Sarta termangu. Kekhawatirannya ternyata menjadi kenyataan. Harga pupuk yang murah itu pasti akan jadi rebutan. Terutama oleh para pemodal yang tujuannya untuk ditimbun supaya bisa laku mahal. Tahun kemarin juga begitu. Ketika padi-padi menguning sempurna, montok berisi seperti perawan desa, harga pupuk melompat-lompat. Rasanya lingkaran setan ini tidak ada ujungnya

Kepala mang Sarta jadi seperti gasing yang diputar-putar. Sudah terbayang di depan matanya bahwa hasil panennya kali ini akan habis lagi dipakai untuk melunasi utang-utangnya kepada haji Rosid. Lalu untuk modal tanam --> dia harus meminjam lagi. Lobang-lobang itu seakan hendak mengubur dirinya. Belum lagi dia juga harus menebus sawahnya yang terlanjur digadaikan. Uang dari mana?

Ah! Tiba-tiba abah Sarta ingat istrinya masih menyimpan gelang emas dua gram.

“Kita jual aja dulu, Mak. Nanti kalo panen abah usahain yang pertama abah lakukan adalah mengganti gelangmu. Gimana, setuju nggak?”

Sebagai seorang istri, mak Diyah tentu saja harus taat. Apalagi ini untuk menyambung hidup mereka berdua. Hatinya tidak bisa memungkiri, teramat berat melepas perhiasan hasil puluhan tahun memeras keringat. Istri mana yang tidak ingin nyandang, meski itu cuma berupa cincin sebesar kerikil yang hampir tak terlihat. Bukankah setiap perjuangan hidup harus ada jejaknya?

Namun ketaatan kepada suami haruslah mengalahkan segalanya. Perlahan, mak Diyah meloloskan cincin emasnya.

“Abah nggak perlu terlalu maksain buat menggantinya. Itu mah kalo ada diganti, nggak juga emak nggak apa-apa. Yang penting sawah kita bisa ketolong.”

“Terima kasih, mak. Doain aja supaya hasil panen kita kali ini ada lebihnya. Ya udah, sekarang emak aja yang ngejual cincin ini ke pasar. Abah mau ngambil pupuk dulu ke haji Rosid. Nanti keburu kehabisan.”

Dengan mengenakan selendang lusuh dan kain batik kembang-kembang yang warnanya mulai pudar, melenggang mak Diyah menuju ke pasar Gempol. Tak seberapa sebenarnya nilai rupiah dari cincin yang hendak dijualnya. Paling mahal juga seratus lima puluh. Namun dalam keadaan kepepet, yang seratus lima puluh itu terasa melapangkan dada.

Sementara kedatangan abah Sarta ke tokonya haji Rosid di sambut penuh senyum ramah dan kegembiraan.

“Wahh, si abah di tungguin dari kemarin baru nongol sekarang. Pupuk buat abah, udah saya sisain, Bah. Kemarin si Maman suruh ngambil dulu, malah nggak mau. Katanya uangnya nggak cukup. Padahal sama saya mah masalah uang belakangan juga nggak apa-apa. Kayak sama orang lain aja.”

Abah Sarta cuma tersenyum kecil menanggapinya. Biasa, mau panen. Jerat-jerat sibuk di pasang.

“Tapi kurangnya nanti besok saya anterin ya, Pak Haji. Boleh, kan? Emaknya lagi ke pasar dulu.”

“Oh, nggak apa-apa, Mang. Silakan. Mang Sarta ambil aja sesukanya. Soal bayaran mah jangan terlalu dipusingin. Kita kan harus saling tolong-menolong.”

Abah Sarta tidak ingin berkepanjangan. Secepatnya ia memilihkan beberapa kaleng pupuk yang memang dibutuhkannnya. Dimasukannya ke dalam kardus kecil. Selama abah Sarta memilih-milih, haji Rosid terus menempelnya. Ia sibuk menanyakan kondisi sawah abah Sarta. Padahal abah Sarta yakin, haji Rosid pasti sudah mengetahuinya. Sudah jadi rahasia umum, tiap kali panen hendak datang, haji Rosid akan berkeliling di pesawahan. Melihat-lihat. Barangkali sedang menandai sawah-sawah mana saja yang hendak dijeratnya.

Abah Sarta geleng-geleng kepala membuang pikiran itu dari kepalanya. Itu bukan urusannya. Hanya menambah ketidakberdayaannya saja.

“Abaaah!” Tiba-tiba ke dalam toko ada teriakan menyeruak. Si Maman datang dengan tergopoh-gopoh mengagetkan bukan hanya abah Sarta tapi juga haji Rosid.

“Ada apa, Man, teriak-teriak begituu? Ngagetin orang aja.”

Maman mengatur napasnya. Barulah suaranya keluar lagi. “Mak Diyah menunggu di rumah sambil menangis. Lebih baik abah Sarta pulang saja cepat-cepat. Pupuk biar saya yang ngurus, bah.”

Abah Sarta mengghembuska napasnya keras-keras.

“Ada apa lagi atuh ini teh, ya? Si emak nambah-nambah pikiran wae,” gumamnya.

Lebar kaki abah Sarta melangkah keluar dari toko. Bahkan ia setengah berlari-lari. Pikiran buruk berkelebat di benaknya. Bukankah si emak habis menjual emas? Jangan-jangan uangnya ada yang merampok. Kalau benar begitu, sukar dibayangkan keadaan mereka selanjutnya.

Setibanya di rumah, tampak mak Diyah sedang dihibur oleh istrinya Maman. Air mata mak Diyah deras mengalir. Isaknya masih tersisa. Begitu melihat kedatangan abah Sarta, serta merta mak Diyah langsung menghambur. Tangisnya pecah lagi. Abah Sarta bingung di buatnya.

“Abah, cilaka! Cilaka, Abah!” Seru mak Diyah di sela sedu sedannya.

“Kenapa, Mak? Apanya yang cilaka? Sok atuh buruan jelasin. Ada apa ini teh?”

“Itu... si Asep cilaka...!”

“Hah? Celaka kenapa si Asep?”

“Dia teh ditipu orang. Duitnya ludes semua dibawa kabur.”

Mengalirlah cerita yang membuat abah Sarta mesti mengurut dada. Kisahnya, cerita si Ujang, si Asep menemui orang yang sudah menjanjikan pekerjaan itu kepadanya bersama si Ujang. Baik orang itu. Katanya dia punya kenalan seorang pegawai di sebuah pabrik. Tapi untuk bisa masuk kerja di sana, si calon karyawan harus membayar uang administrasi dua juta besarnya. Si Asep yang sudah kebelet ingin cepat jadi karyawan, tanpa pikir dua kali, percaya begitu saja. Uang hasil abah Sarta menggadaikan sawah pun langsung diberikannya saat itu juga. Dan sudah bisa ditebak, begitu uang diterima, orang itu ternyata langsung menghilang tak tentu rimbanya.

“Begitu kata si Ujang, Bah. Ini teh gimana atuh? Kasian si Asep....”

“Sekarang si Asepnya mana?” Tanya abah Sarta.

“Dia masih di kota. Kata si Ujang dia nggak mau pulang. Malu. Aduuuh, anak teh kumaha atuh nasibnya sekarang. Kita harus gimana, Abah?” Makin basah air mata mak Diyah. Terbayang si Asep di kota tanpa memegang uang sepeser pun.

Hampir menangis abah Sarta mendengar nasib anak kesayangannya itu. Matanya berkaca-kaca. Anak itu, coba kalau menuruti perkataan bapaknya ini. Tidak akan nasib buruk ini menimpanya.

“Kita harus gimana, Bah?”

“Ya udah, uang hasil menjual emasnya titipin aja sama si Ujang buat bekal pulang si Asep.”

“Terus pupuk abah gimana?”

“Yah, itu mah gimana nanti aja. Yang penting si Asep harus kita bantu dulu,” kata abah Sarta menegar-negarkan hati. Tertatih-tatih dia lalu menuju ke belakang. Duduk termangu di bale-bale bumbu yang sudah reot. Menatap semburat merah di upuk barat. Wajah keriputnya memancarkan kelelahan yang luar biasa. Tak pernah sebelumnya abah Sarta merasa seperti ini.

Pegal-pegalnya yang tadi tidak terasa, sekarang begitu jelas mencucuk tulang-tulangnya. Seharusnya di usianya yang kian menginjak senja ini, sudah waktunya bagi dirinya untuk pensiun. Bukan terus-terusan ‘asik’ menentang badai. Ya, kehidupan seorang petani adalah hidup yang dikelilingi badai.

Namun meski begitu, tak ada waktu untuk terus berdiam diri. Perlahan abah Sarta bergerak lagi menuju dapur. Ia ambil jeliken minyak tanah dan menuangkan isinya ke dalam alat semprotan pupuk. Ia harus langsung ke sawah. Si Maman sudah disuruhnya untuk membawa pupuk-pupuk dari haji Rosid langsung ke sana.

Kepada istrinya abah Sarta pamitan. Padahal saat itu hari sudah sore. Bukan waktunya untuk pergi ke sawah. Namun abah Sarta beralasan semua pekerjaannya di sawah harus di selesaikannya hari ini juga. Besok dirinya ingin mengaso dulu. Mak Diyah mengerti. Ia iringi suaminya hingga ujung halaman dengan sekelumit doa dari dasar kalbunya agar laki-laki tua itu diberi kekuatan kesabaran.

Ringan langkah abah Sarta. Udara pesawahan yang kencang berhembus, terasa menyejukan dadanya. Ia berhenti di hadapan dua kotak sawahnya yang tampak subur dan berisi.

Senja makin temaram. Abah Sarta memutuskan malam itu ia tidak akan pulang, melainkan menginap di sawahnya. Dia ingin melihat kunang-kunang yang biasanya setiap menjelang musim kemarau bermunculan. Berkerlap-kerlip seperti intan di kegelapan malam. Entah apa yang dicarinya sehingga harus selalu membawa-bawa pelita. Tapi abah Sarta merasa bahwa nasibnya tak jauh beda dengan kunang-kunang itu. Demikian kecil, demikian lemah.

Tatapan mata abah Sarta nanar memandangi hamparan sawah itu. Ia bangga dan bahagia memilikinya. Rasanya tak sia-sia jerih dan payahnya memeras keringat. Tapi sekarang ia jadi bertanya-tanya, padi-padi ini sebenarnya untuk siapakah?
Lalu air mata pun membasahi pipi kisut pria paruh baya itu, ditemani kumandang adzan Maghrib yang mendayu, merayu kesabaran di hatinya yang tengah sekarat, didera putus asa...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar