Di Cicinde, ada anggapan bahwa manusia paling kuat di dunia ini adalah petani, karena dia menyambung tali kehidupan jutaan manusia. Bayangkan kalau di muka bumi ini tidak ada orang yang menjadi petani, maka kehidupan pelan-pelan akan punah. Tidak ada beras, tidak ada gandum, sayur-sayuran, buah-buahan dan yang lain-lainnya.
“Beras kita tinggal seliter, Bah. Paling hanya cukup sampe besok aja.” Dari balik dinding bilik menerobos dialog pendek milik sepasang orang tua kurus-kering. Yang tadi bicara, ia seorang perempuan tua. Rambut di kepalanya sudah jarang-jarang. Dan warna hitamnya pudar menjadi putih. Sepasang pipinya kempot tidak berdaging.
Dari tangan kecil perempuan itu tersuguh secangkir besar teh pahit yang diletakan di hadapan suaminya. Seorang laki-laki yang tidak kalah kerempengnya namun kelihatan masih tegar penuh tenaga. Seluruh rambut di kepalanya berguguran menyisakan tulang kepala berbalut kulit yang berkilat-kilat.
“Ngutang aja dulu ke warung si Cicih. Abah uangnya udah dikasihin sama si Maman buat beli pupuk,” yang diajak bicara tetap asik mengepulkan gumpalan demi gumpalan asap dari udud kawungnya. Sebelah kaki menekuk menopang tangan kiri yang menjepit sebatang rokok. Sedang melamun rupanya. Dan bahan lamunannya ditunjukkan oleh tatapan matanya yang hinggap pada sebuah bingkai poto yang sudah kusam yang tergantung di dinding bilik yang juga sudah berwarna kehitam-hitaman. Si bungsu yang bernama Asep, anak kesayangannya yang tercetak di dalam foto itu, seperti sedang membalas tatapannya. Dua orang kakaknya semua perempuan. Sudah menikah dan sudah pula diboyong suami masing-masing.
Kata mak Diyah, istrinya yang teramat setia ini, anak perempuan juga rejeki pemberian yang Maha kuasa yang wajib disyukuri. Abah Sarta mengerti. Ustadz di musholanya juga selalu berkata begitu kalau sedang mengadakan pengajian rutinan. Tapi abah Sarta berkilah, syukurnya akan lebih mantap kalau seorang saja di antara bayi yang keluar dari rahim istrinya adalah anak laki-laki. Dengan begitu akan ada yang meneruskan jejak langkahnya membalik lumpur di sawah menyemai benih-benih kehidupan.
Tetapi pada kelahiran yang ketiga, Gusti Allah rupanya mengabulkan permintaan abah Sarta. Si jabang bayi yang menengok dunia sambil melengkingkan tangis suka citanya ternyata berkelamin laki-laki. Betapa riang gembiranya abah Sarta. Mulutnya tak henti tersenyum kalau bertemu dengan orang yang menanyakan jenis kelamin si bayi. Sebagai bentuk rasa syukurnya, ia sembelihkan seekor kambing.
Sementara untuk namanya abah Sarta sudah punya pilihan, yaitu Asep. Yang artinya kasep, atau ganteng. Seperti itulah kira-kira harapannya kalau si anak sudah besar nanti. Ganteng sampai ke akhlak-akhlaknya alias berbakti kepada dua orang tuanya yang sudah renta ini.
Kalau kakak-kakaknya sekolah tamat SD saja cukup, si Asep tidak. Sekolahnya tinggi, sampai menjelajah ke SMU yang jauh ada di kota. Untuk segala macam biayanya, abah Sarta bahkan sampai rela menjual satu dari tiga kotak sawah yang dimilikinya.
“Abah nggak menyesal. Ini semua demi si Asep. Kalau pendidikannya tinggi, siapa tau rejekinya juga ikut tinggi,” kata abah Sarta menggemakan mimpi kepada istrinya waktu sang istri menanyakan apakah di kemudian hari nanti dirinya tidak menyesal sudah menjual sebagian ladangnya.
Tetapi waktu senantiasa berubah dan tabiat manusiapun ikut pula berubah. Sekarang abah Sarta harus menjilat ludahnya sendiri. Pasalnya, sang putra yang amat dibanggakan itu, tega sekali mematahkan harapan yang sudah terlanjur jauh dibentangkan abahnya ini.
“Bagaimana sekarang keadaannya si Asep, Yah?” Pertanyaan abah Sarta terlontar dari sumur lamunannya yang dalam sarat kekosongan.
“Abah jangan mikirin dia terus. Si Asep belum juga sebulan pergi ke kota. Mudah-mudahan aja dia cepet dapet kerja kayak si Ujang,” istrinya menjawab sekaligus pula untuk menenangkan gundah-gulana yang mencengkeram suaminya.
“Maksud abah bukan begitu. Abah akan bahagia kalo dia di desa aja jadi petani kayak abah. Rasanya kalo anak kerja jauh begitu, abah suka kepikiran terus. Takut kenapa-kenapa. Anak itu kan baru sekali ini merantau ke kota.”
Mak Diah tertawa. Menyembul sebagian giginya sisa-sisa ompong.
“Abah ini gimana. Si Asep itu nyari kerja di kota buat masa depannya. Kita doain aja mudah-mudahan dia cepet sukses dan jadi orang kaya. Habis kalo di kampung terus dia mau ngapain? Mending kalo orang tuanya kaya-raya, punya sawah luas, duitnya banyak, kehidupan dia akan terjamin. Ini, kita buat makan sendiri aja cuma pas-pasan.”
Mang Sarta tidak menjawab. Mulutnya sibuk mengepulkan asap udud kawungmya lagi. Tetapi dalam hati dia tidak memungkiri apa yang istrinya katakan. Sawah mereka yang cuma beberapa kotak makin kesini makin tidak menghasilkan apa-apa. Padi memang ‘berbuah’. Tapi kadang Wereng, Tikus, atau Keong emas mendului mereka, berpesta menyedot satu demi satu biji-biji padi itu. Sisanya hanya batang-batang padi yang sudah coklat mengering seperti mayat yang menunggu dikubur.
Bukan itu saja, kadang pupuk juga tiba-tiba menghilang seperti mahluk halus. Seluruh toko pupuk dijelajahi, sepotong kaleng pun tidak diketemukan. Kalau juga ada harganya pasti sudah naik bertingkat-tingkat. Untuk bisa membelinya abah Sarta kadang terpaksa harus utang dulu kepada Haji Rosid, tengkulak yag merajai kampungnya, dengan syarat pada waktunya panen abah Sarta harus menjual gabahnya kepada dia.
Dan sudah bisa ditebak, ketika panen tiba si Haji Rosid itu seenaknya saja memainkan harga. Si harga ditekuknya hingga merendah-rendah. Abah Sarta tak berdaya. Keluhnya menjadi kian tak berujung.
Nasi timbel yang akan dibawa sebagai bekal ke sawah sekarang telah selesai dibungkus dengan menggunakan daun pisang. Isinya berupa sambel, ikan asin, dan seikat daun lalap-lalapan. Supaya tidak kesorean, Abah Sarta segera pamit pergi sambil berpesan supaya si Maman, menantunya, cepat-cepat membeli pupuk agar tidak kehabisan lagi. Kabarnya pupuk ini kiriman langsung dari pemerintah yang harganya lebih murah karena sudah disubsidi.
Istrinya mengiyakan. Abah Sarta melangkah dengan pacul di pundak kiri dan rantang makanan menggelantung di tangan kanan. Baju dan celananya berwarna serba hitam yang disana-sini belepotan oleh noda-noda lumpur yang sudah mengering. Melongok keatas, kepala yang sudah seperti bola sepak tampak ditutupi caping. Seperti itulah seragam kebesaran serdadu-serdadu pengawal dan pemelihara dewi Sri, sang Dewi padi.
Jalan setapak menuju sawah harus melalui hutan bambu tempat burung-burung Manyar berkumpul. Sore-sore begini biasanya adalah waktunya mereka pulang ke sarang. Seantero hutan bambu akan ramai oleh celotehannya. Terkadang angin yang bertiup dari arah selatan juga ikut ‘nimbrung’ menggoyang-goyangkan pucuk pepohonan bambu menimbulkan suara yang bergemeresik, naik turun seperti suara orkestra.
Sudah ribuan kali abah Sarta mendengar harmonisasi alam itu. Tidak bosan, tapi juga tidak ada waktu untuk menghayatinya. Di ujung jalan setapak sudah terlihat hamparan biru warna langit pertanda tujuannya sudah dekat.
Tiba di tepi galengan, pematang sawah, abah Sarta buka capingnya untuk membiarkan angin pesawahan yang sejuk menerpa dadanya. Ke manapun mata memandang yang tampak hanyalah kemilau padi-padi yang menguning laksana hamparan permadani berbatas gunung dan barisan pepohonan di kejauhan. Burung-burung Pipit terlihat beterbangan dari sawah yang satu ke sawah yang lain sambil bercicit nyaring diikuti kawanannya. Ada pula suara Bancet, Kodok kecil, merepet-repet saling bersahutan.
Bayangan anak burung yang masih kecil itu menautkan lagi pikiran abah Sarta kepada si Asep. Waktu kecil pun ia sering mengajaknya menengok sawah. Mencarikannya Belut atau Kepiting agar si Asep bisa gembira. Harapannya besar sekali si anak kalau sudah dewasa nanti akan mengikuti jejak bapaknya menjadi petani. Tetapi petani yang pintar supaya bisa membantu orang-orang disini melepaskan diri dari jeratan tengkulak.
Ya, di sini tengkulak seperti haji Rosid itu lagaknya seperti penyamun yang bermuka dua. Pada waktu masa tanam padi tiba, hatinya begitu baik penuh ketulusan. Semua petani disambanginya dengan keramahan. Ditanyai satu persatu apa-apa yang mereka perlukan. Pupuk, bibit, traktor, semua ditawarkan oleh haji Rosid. Tidak punya uang bukan suatu masalah. Kadang kalau diberi kontan pun haji Rosid suka menolak. Katanya pakai saja dulu uang itu untuk keperluan lain yang lebih penting. Seperti urusan sekolah anak, dapur, atau keperluan pribadi lainnya. Orang yang baru mengenalnya akan gampang terpesona.
Namun ketika tiba masanya padi dipetik, tampaklah tabiat aslinya yang serupa Dasamuka. Petani yang sudah terjerat utang, tidak boleh menjual hasil panennya ke pihak lain. Harus selalu kepada dirinya. Tak seorangpun ada yang berani menentang.
Kemudian si Asep yang tadinya hendak dijadikan sarjana pertanian oleh abah Sarta supaya bisa melawan si tengkulak itu, ternyata makin tinggi badannya, makin tak tertarik menyelami seluk-beluk sumber kehidupan orang tuanya ini. Apalagi kalau harus belepotan lumpur. Paling benci. Pabrik-pabrik di perkotaan lebih deras menarik minat hatinya.
Seperti gambar film yang diputar ulang, di pelupuk mata abah Sarta tergambar lagi pertengkaran dengan si bungsu itu pada suatu malam. Bulat rupanya tekad si Asep hendak mengikuti jejak kawan-kawan sedesanya merantau ke kota menjadi buruh pabrik. Tiap bulan gajian, tiap bulan gajian tanpa harus pusing-pusing memikirkan hama, harga pupuk yang terus naik, atau hujan yang enggan menengok bumi.
“Kalo tetep jadi petani, hidup kita akan miskin terus, Pak. Nggak usah jauh-jauh, bapak lihat aja nasib bapak sendiri. Puluhan tahun menjadi petani, tivi aja nggak kebeli. Yang kaya malah para tengkulak bajingan itu yang mencekik orang-orang seperti bapak. Tiap tahun harga beras naik, tapi apa itu bisa menjadikan bapak kaya? Yang ada bapak malah terus gali lobang tutup lobang. Coba kalo jadi karyawan, si Ujang malah udah bisa ngeridit motor sendiri. Apa bapak nggak pengen hidup kita bisa maju seperti itu?” Asep tetap ngotot dengan kehendaknya menjejakan kaki di kota. Hatinya kaku seperti besi yang tidak bisa dibelokan.
“Tapi Abah nggak punya uang, Sep,” keluh abah Sarta mencoba mempertahankan buah hatinya itu.
“Tapi Abah kan masih punya sawah tiga kotak? Jual aja satu, Bah.”
Hati abah Sarta serasa diiris mendengarnya. Wajahnya sendu serupa perawan yang di tinggal mati kekasihnya. Tega sekali anaknya berkata demikian. Tidakkah anak itu menyadari, sawah itu baginya sama dengan nyawa kedua.
Tetapi abah Sarta yang pada dasarnya amat menyayangi putranya itu, mengalah. Besoknya, satu kotak sawahnya dia gadaikan kepada haji Rosid.
Kata si Asep, uang hasil gadai sawah itu akan dipergunakan untuk menyogok orang yang akan mempekerjakannya di pabrik. Sudah biasa, di kota segala urusan kalau ingin lancar mengalir, harus ada pelicinnya. Uang sabun istilahnya.
Abah Sarta sudah tak ingin mendengarnya. Ia sedih. Bayangkan, anak kesayangan yang diharap akan meneruskan jejak langkahnya kini bersimpangan langkah. Lantas siapa yang akan menjaga dan mengolah ladangnya di masa depan nanti? Petani seperti dirinya yang lemah dan bodoh, seumur hidup tetap saja jadi mainan tengkulak. Beda dengan anak-anak muda yang penuh semangat dan berani melakukan perlawanan kalau berjumpa dengan ketidak adilan.
Jadi, meski lahan sawahnya hanya menumbuhkan harapan semu bak gugusan pelangi, abah Sarta bertekad akan menghabiskan sisa hidupnya sebagai petani. Dia akan tetap mencangkul dan membalikan tanah barangkali dibaliknya terdapat benih-benih kebahagiaan yang selama ini ia cari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar