Selama satu periode lebih sedikit, menjabat Walikota Solo Jokowi
seperti sosok yang istimewa di mata media. Tapi kenyataan yang terjadi
di lapangan seharusnya membukakan mata bagi siapa saja yang selama ini
mendewa-dewakan Jokowi.
Berikut berbagai fakta di Solo berkaitan dengan Jokowi:
1. Jokowi, PKL dan konspirasi para preman dibawah FX Hady Rudiatmo
Pada tahun kedua menjadi walikota, Jokowi sudah mulai menyita
perhatian media karena dianggap sukses menangani permasalahan PKL di
Solo yang selama puluhan tahun memusingkan pemerntah daerah. Drama
pemindahan PKL dari kawasan monumen Banjarsari (Monjari) yang berdekatan
dengan rumah pngusaha Lukminto, disebut-sebut menjadi kunci suksesnya
menangani PKL secara keseluruhan di kota Solo.
Proses penanganan PKL ini, jadi menarik karena berjalan secara damai
tanpa melibatkan aparat keamanan, satpol PP maupun kepolisian. Bahkan
PKL yang jumlahnya ribuan menjalani ritual boyongan dengan sukarela
ketika menempati areal relokasi ke pasar baru yang kini dikenal dengan
Notoharjo.
“Kesukesan” mengelola PKL tersebut menjadikan Jokowi kemudian dikenal
sebagai Walikota kaki lima karena keberpihakannya kepada pedagang kaki
lima. Ia sering diundang ke berbagai kota untuk menceritakan
pengalamannya. Tak hanya di dalam negeri tapi juga keluar negeri.
Bahkan tahun ini, Solo bakal menjadi tuan rumah untuk acara konferensi
international khusus untuk penanganan pedagang kaki lima.
Belakangan mulai muncul suara-suara sumbang berkaitan dengan proses
relokasi PKL ke pasar Notoharjo. Keberhasilan tersebut ternyata
merupakan hasil skenario yang sudah dirancang secara matang. Ada yang
menyebut kesuksesan ini hasil persekongkolan antara preman dan penguasa.
Sebagaimana diketahui, dalam berbagai kesempatan, Jokowi selalu
menjelaskan bahwa proses pemindahan tersebut merupakan hasil dari loby
yang cukup panjang dengan cara nguwongke komunikasi dari hati
ke hati. Ia berkali-kali mengundang tokoh pentholan di kalangan PKL
untuk diajak makan malam di Loji Gandrung, rumah dinasnya sebagai
walikota. Dalam setiap kali makan bersama, Jokowi mengaku tidak pernah
bicara tentang penataan PKL karena katanya pasti akan menimbulkan
perlawanan. Baru setelah puluhan kali makan bersama dan terjalin
komunikasi yang baik, Jokowi mulai memunculkan rencana relokasi PKL
tersebut. Dan konon semua langsung sepakat dengan apa yang dikatakannya.
Ia menyebut sebagai buah dari diplomasi meja makan.
Jokowi boleh mengklaim ada diplomasi meja makan dibalik kesuksesannya
merelokasi PKL ke Pasar Notoharjo. Tapi ada sebuah sumber yang
menyatakan bahwa keberhasilan itu tidak lepas dari skenario besar yang
dirancang wawalinya, FX Hady Rudiyatmo. Wawali yang akrab disapa Rudy
ini sebenarnya menjadi penguasa riil di Solo. Sedangkan sang walikota,
Jokowi hanya seperti boneka yang digerakkan Rudy.
Sekedar diketahui saja, selama ini Rudy adalah tokoh yang memiliki
massa hingga ke akar rumput. Massa yang dikuasainya berasal dari
berbagai latar belakang, mulai dari pedagang kaki lima, tukang parkir,
hingga preman jalanan maupun yang berdasi. Sebagai penguasa di dunia
hitam, ada yang bilang Rudy bisa membuat merah hijaunya Solo. Ia
sebenarnya juga punya peluang menjadi walikota, namun karena statusnya
yang non muslim menjadi pengganjal bagi Rudi. Dan ia pun sadar diri.
Kalau melihat dana yang digelontorkan dari APBD untuk relokasi PKL ke
Pasar Notoharjo sebenarnya terlihat jelas ada kejanggalan. Jumlahnya
memang sangat fantastis, mencapai hampir ratusan milyar. Maklum semua
semua proses ditanggung Pemda. PKL dibebaskan dari semua biaya alias
gratis. Selain dapat tempat, juga dapat modal kerja, bahkan uang makan
selama sebelum dagangannya laku.
Besarnya anggaran ini sempat menggelitik anggota dewan di Solo. Untuk
membiayai PKL yang jumlahnya ribuan, mengalahkan anggaran operasional
kelurahan. Padahal berdasarkan survai, sekitar 20 % PKL Notoharjo bukan
orang asli Solo. “Anggaran PKL Notoharjo banyak yang salah sasaran
karena yang menikmati bukan orang Solo,” kata M Rodhi, anggota dewan
dari PKS.
Selain salah sasaran, ada yang terang-terangan mengatakan bahwa yang
menikmati anggaran PKL Notoharjo tersebut hanya kelompok masyarkaat
tertentu yang selama ini dikelola Rudy. Tepatnya mereka yang bernaung
dibawah partai pimpinan wawali ini. “Ini salah satu cara mereka
mendapatkan uang,” kata salah satu sumber di DPRD Solo.
Terlepas dari itu, semua Jokowi sudah telanjur dicitrakan sebagai
walikota yang sukses mengelola PKL dengan cara-cara yang manusiawi. Tapi
apakah, dia juga sukses menangani sampah secara umum di kota Solo?
Ternyata tidak.
Saat ini, PKL masih menjadi persoalan serius di kota Solo. Status
Jokowi sebagai walikota kalilima memang menjadi dilema. Ia tidak tegas
terhadap PKL. Ini terlihat dari makin banyaknya PKL yang sepertinya
didiamkan saja berjualan di kawasan yang seharusnya steril dari
keberadaan mereka.
Bukan hanya muncul PKL baru, tapi ada juga PKL yang sudah direlokasi
ke tempat baru kemudian pindah ke tempat asal dengan dalih tidak laku di
tempat baru. Dari pantauan di lapangan, para PKL masih dengan bebas di
Jl. Slamet Riyadi, Jl, Veteran, Jl,. Kapten Mulyadi dan Jl. Urip
Sumoharjo. Padahal jalan-jalan ini mestinya menjadi kawasan yang steril
dari PKL.
Penanganan terhadap para PKL yang dilakukan Pemkot Surakarta, tak
hanya dilakukan dengan relokasi, tapi juga dengan shelterisasi dan
gerbakisasi. Pada kenyataannya, PKL yang sudah terkena penataan tersebut
banyak kembali ke tempat semula atau mencari lokasi baru.
2. Jokowi dan City Walk
Salah satu impian Jokowi dalam mewujudkan kota Solo menjadi kota yang
nyaman dan asri adalah dengan membangun kawasan City Walk di kawasan
Jl. Slamet Riyadi, yang terbentang antara Purwosari sampai Gladag/Pasar
Gede. Konsepnya, kawasan ini akan menjadi asset wisata baru. Para
pengunjung berjalan kaki dan menikmati fasilitas yang ada di kawasan
ini.
Dengan menghabiskan anggaran Rp 1.3 milyar, kawasan Citywalk mulai
diresmikan sejak 1 Oktober 2007 bertepatan dengan t peringatan Hari
Habitat Nasional. Kawasan ini sebenarnya diharapkan menjadi daya tarik
tersendiri sebagai wahana wisata bagi warga dalam rangka berinteraksi,
bersosialisasi, sekaligus rekreasi.
Sayang seribu sayang setelah memasuki tahun kelima, kawasan ini sepertinya tidak mendapatkan respon warga. Kawasan Citywalk belum menjadi daya tarik sebagai tujuan wisata sebenarnya. Kalangan anggota dewan, menganggap Citywalk merupakan salah satu proyek gagal yan dikelola Jokowi.”Ini jelas-jelas proyek gagal karena tidak ada kelanjutannya, sekarang hanya digunakan tempat mangkal PKL dan tukang becak,” kata Supriyadi, wakil ketua DPRD Kota Surakarta.
Sayang seribu sayang setelah memasuki tahun kelima, kawasan ini sepertinya tidak mendapatkan respon warga. Kawasan Citywalk belum menjadi daya tarik sebagai tujuan wisata sebenarnya. Kalangan anggota dewan, menganggap Citywalk merupakan salah satu proyek gagal yan dikelola Jokowi.”Ini jelas-jelas proyek gagal karena tidak ada kelanjutannya, sekarang hanya digunakan tempat mangkal PKL dan tukang becak,” kata Supriyadi, wakil ketua DPRD Kota Surakarta.
Karena itulah, Supriyadi mengaku langsung menolak ketika Pemkot Solo
mengajukan anggaran untuk pembangunan citywalk di kawasan lain sepanajng
10 km yang akan menghubungkan jalan protocol di dalam kota. “Yang
pertama saja gagal mau membangun Citywalk lagi,” kata Supriyadi.
Masih menurut Supriyadi, pembangunan Citywalk tanpa melalui kajian
yang mendalam dan kesannya hanya gagah-gagahnya saja. Dampak dari proyek
ini, justru menimbulkan banjir karena system drainase yang tidak
digarap dengan baik. Selain itu, para pemilik toko di kawasan ini juga
mengalami kerugian karena harus bongkar muat di tempat yang jauh, tidak
lagi bisa dilakukan di depan toko seperti sebelum citywalk dibangun.
Sementara itu, dampak dari pembangunan Citywalk tersebut, tukang
becak dan sepeda kehilangan akses jalan. Mereka tidak lagi memiliki
jalur lintasan di kawasan Jl, Slamet Riyadi, apalagi tempat parkir.
Konsep City Walk mengadopsi dengan apa yang ada di Orchad Road di
Singapura. Ketika berkunjung di negeri singa tersebut, Jokowi nampak
terpana karena kawasan ini menarik bagi para wisatawan.
Di sepanjang Orchard Road banyak sekali bangunan-bangunan komersial
seperti hotel dan pusat perbelanjaan berlabel mall, shopping center,
galeri, plasa, square dan nama-nama pusat perbelanjaan lain. Ada lebih
dari 50 pusat perbelanjaan dan deretan pertokoan di sepanjang Orchard
Road. Di mana jalan ini bersambungan dan berdekatan dengan Marina Bay
dan City Centre.
Di kawasan Orchad Road, juga banyak ditemukan bangunan penting
seperti Museum Raffles Landing Site, Singapura Art Museum, Singapura
City Gallery, Singapura History Museum, Singapura Philatalic Museum,
Theatre dan Concert Hall, pengunjung juga bisa menemukan taman-taman
kota dan bangunan-bangunan megah kantor Parliament House dan beberapa
gedung kedutaan besar. Bahkan tempat ibadah mulai dari pura, mesjid dan
gereja tersedia di sana.
Kehidupan di kawasan Orchad Road memang sangat nyaman dan aman. Hal
ini terjadi karena didukung infrastruktur yang memadai, sumber daya
manusia serta financial yang mencukupi untuk maintenannya. Selain itu
juga aparat di lapangan dan birokrasi yang memang memiliki dedikasi yang
sangat baik, tertib, teliti dan bertangungjawab.
Sarana tranportasi juga sangat mendukung, mulai dari kereta cepat
maupun bus yang menjamin kecepatan, keamanan, kenyamanan bahkan
keselamatan penumpangnya.
Yang juga tak kalah penting, jumlah kendaraan bermotor pribadi di
Singapura sangat dibatasi. Parkir mobil juga diatur dengan tertib.
Setiap bangunan memiliki ruang parkir khusus.
Yang jelas mereka yang berlalu lalang di Orchid dijamin tidak akan
menemukan pengamen, gelandangan apalagi pengemis, maupun pemulung.
Kalaupun ada PKL, keberadaannya sangat diatur dengan rapi. Tidak adanya
kesenjangan sosial, memang memungkinkan semuanya terjadi.
Ir. Kusumastuti,MURP dosen Arsitektur UNS melihat bahwa potensi yang
ada di kawasan Jl. Slamet Riyadi tidak cukup mendukung untuk membuat
City walk seperti yang ada di Orchad Road Singapura.
Kalaupun ada bangunan perkantoran, hotel, mall, museum, sriwedari,
toko batik Danarhadi, Luwes, dsb, belum mampu menjadikan Citywalk
sebagai magnet yang menarik wisatawan datang ke sana. Tak mengherankan
bila saat ini, proyek City walk terkesan mangkrak.
3. Jokowi Gagal Mengurangi Kemiskinan
Kalau melihat fakta dan data jumlah warga miskin
yang ternyata terus meningkat, pantas dipertanyakan apa ukuran
kesuksesan bagi Jokowi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan konsep pembangunan kota Solo
yang selama ini dikembangkannya. Orang kaya atau orang miskin?
Berdasarkan data yang dirilis Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan Daerah (TKPKD) ternyata jumlah warga miskin di Kota Solo dari
tahun ke tahun justru terus mengalami peningkatan. Tidak menurun
seperti yang selama ini dipublikasikan. Tahun 2012 ini, jumlah warga
miskin mencapai 133.000 jiwa atau sekitar 25% dari total jumlah
penduduk Solo yang mencapai 530.000 jiwa.
Data tersebut tentu sangat mengejutkan, karena melebihi data yang
dilansir oleh Program Perlindungan Sosial (PPLS’08) dari Badan Pusat
Statistik (BPS), termasuk data Pemkot sebelumnya yang dikeluarkan oleh
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Jumlah warga miskin
berdasarkan PPLS’08 tercatat sebanyak 21.945 keluarga atau sekitar
85.000 jiwa dengan asumsi setiap keluarga terdiri atas empat anggota.
Sedangkan data warga miskin yang dimiliki Bappeda tercatat sebanyak
125.000-an jiwa.
Wawali FX Hadi Rudyatmo selaku Ketua TKPKD mengakui data warga miskin
yang lebih besar itu memang tidak bagus dari sisi politis maupun citra
Kota Solo. Namun, data itu harus diakui karena lebih mendekati kenyataan
di lapangan.
Setelah mendapatkan data yang riil itu, Rudy mengatakan tantangan
besar yang menanti di depan adalah bagaimana agar data itu diterima oleh
semua satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan dijadikan dasar dalam
kegiatan-kegiatan dari sumber APBD yang berhubungan dengan
penanggulangan kemiskinan. Selama ini, data kemiskinan itu berbeda-beda
di masing-masing SKPD sehingga sulit sekali untuk mengukur keberhasilan
penanggulangan kemiskinan.
Kepala Kesekretariatan TKPKD Solo, Shemmy Samuel Rory menyatakan
yang diperlukan adalah sikap legawa dari masing-masing pihak. Tidak
hanya kalangan SKPD, tetapi juga ormas, LSM dan kalangan usaha. Mereka
harus mau melepaskan ego sektoral masing-masing, melihat kenyataan yang
ada, duduk bersama, mengeksplorasi masalah, memahami dan membagi peran
dalam penyelesaian masalah itu.
Ada pernyataan dari wawali yang kemudian mengundang kontroversi.
Entah apa alasanya, dia justru merasa patut bersyukur dengan penambahan
angka kemiskinan di kota Surakarta. Pernyataan itulah yang mengundang
keprihatinan dari kalangan DPRD Kota Surakarta. “Makin banyak orang
miskin kok malah disyukuri,” kata ketua Fraksi PAN, Umar Hasyim kepada
Media Indonesia (9/5/2012).
Menurut Umar Hasyim, penambahan angka kemiskinan membuktikan bahwa
selama ini Pemkot Solo gagal dalam menjalankan program pengentasan
kemiskinan. “Kemiskinan tidak perlu ditutup-tutupi tapi juga jangan
disyukuri,” katanya politisi PAN tersebut.
Umar Hasyim menambahkan, kebijakan Pemkot Solo yang belum berhasil
menekan jumlah kemiskinan menandakan kinerja SKPD tidak berjalan
maksimal, sehingga kesenjangan semakin lebar.
Peningkatan kemiskinan tersebut juga menandakan pemberdayaan ekomi
tidak berjalan sukses. Kegagalan program pemberdayaan ekonomi ini, bisa
dilihat dari jumlah pendapatan perkapita warga Solo yang hanya Rp 18
juta pertahun.
Sedangkan, unsur pimpinan DPRD dari Partai Demokrat Supriyanto
menegaskan duet Joko Widodo-Hadi Rudyatmo dalam memimpin kota Solo
selama dua periode memang hanya sering memberikan kejutan dan bukan
keberhasilan. “Seperti kemiskinan ini. Meski DPRD sudah berupaya
memenuhi anggaran yang dibutuhkan eksekutif di dalam melaksanakan
program pengentasan kemiskinan, ternyata jumlahnya malah makin
membengkak. Anehnya lagi, hasil pendataan BPS pun seolah menggunakan
indikator tersendiri,” ungkap Supriyanto.
penduduk miskin Kota Solo versi TKPKD
1. Tahun 2009: 107.000 jiwa
2. Tahun 2010: 125.000 jiwa
3. Tahun 2011: sekitar 130.000 jiwa
1. Tahun 2009: 107.000 jiwa
2. Tahun 2010: 125.000 jiwa
3. Tahun 2011: sekitar 130.000 jiwa
Peningkatan penduduk miskin
1. Dari tahun 2009 ke tahun 2010: 18.000 jiwa atau 16,8%
2. Dari tahun 2010 ke tahun 2011: 5.000 jiwa atau 4%
5 Kelurahan berpenduduk miskin paling banyak tahun 2010
1. Sudiroprajan, Jebres
2. Sangkrah, Pasar Kliwon
3. Kepatihan Wetan, Jebres
4. Semanggi, Pasar Kliwon
5. Ketelan, Banjarsari
1. Sudiroprajan, Jebres
2. Sangkrah, Pasar Kliwon
3. Kepatihan Wetan, Jebres
4. Semanggi, Pasar Kliwon
5. Ketelan, Banjarsari
4.Jokowi dan keburukan manajemen Pemerintahan
Ada peristiwa menarik di penghujung tahun 2011 lalu. Tepatnya sejak
23 Desember kota Solo gelap gulita. Ini terjadi karena PLN memutuskan
jaringan listik untuk 17.000 titik lampu penerangan jalan. Penyebabnya
tak lain karena Pemkot untuk kesekian kalinya menunggak pembayaran
rekening listrik untuk penerangan jalan umum. Pemkot Solo menunggak
rekening sejumlah Rp 8.9 milyar.
Pemadaman listrik selama beberapa malam di penghujung tahun 2011
tersebut, menunjukan bahwa ada ketidakberesan dalam pengelolaan keuangan
daerah. “Tunggakan ini semestinya tidak perlu terjadi karena dana
sudah ada, ini menunjukkan ada yang tidak beres dalam manajemen
pengelolaan keuangan daerah,” kata Muhammad Rodhi, wakil ketua DPRD kota
Surakata.
Pihak PLN sebagaimana diungkapkan Manajer Area Pelayanan dan Jaringan
Surakarta, Puguh Dwi Atmanto, pemadaman tersebut terpaksa dilakukan
karena jumlah tunggakan rekening listrik yang dilakukan Pemkot Solo
sudah tidak bisa ditolerir lagi.
Puguh mengatakan, selama ini Pemkot Surakarta mendapat setoran pajak
rekening listrik rata-rata 2.4 milyar tiap bulannya. Dari jumlah itu,
sebenarnya masih ada kelebihan karena tagihan yang harus dibayar ke PLN
rata-rata hanya sekitar Rp 2 milyar saja. Artinya Pemkot Surakarta
mendapat surplus hingga Rp 400 juta tiap bulannya dari pajak penerangan
jalan umum (PPJU).
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, Pemkot Surakarta memang
selalu mengalami surplus dari pembayaran rekening PPJU, karena hasil
pajak yang didapat dari konsumen listrik jauh lebih besar dibandingkan
dengan rekening yang harus dibayarkan. Surplus yang diperoleh antara Rp
184 juta hingga Rp 467 juta. Bahkan pada Juni 2010 lalu surplusnya
mencapai lebih dari Rp 1 miliar. “Anehnya Pemkot Solo masih memiliki
tunggakan rekening PPJU Rp 13 milyar,” kata anggota dewan dari PKS
tersebut.
Pihak PLN rupanya habis kesabaran, karena kasus tunggakan listrik
ternyata tidak hanya terjadi sekali saja. Tahun 2010, kasus serupa juga
terjadi tapi jumlahnya lebih kecil Rp 3.6 milyar. “Waktu itu kami masih
tolerir,” kata Puguh.
Menurut Puguh, dampak tunggakan listrik Pemkot Surakarta tersebut
berakibat pada perjalanan karir mereka sebagai karyawan PLN. Jajaran
manajer PLN Surakarta terpaksa mendapat sanki penundaan kenaikan
golongan dan pangkat selama satu semester. “Kami diberi sanksi karena
dianggap tidak becus menangani masalah tunggakan listrik,” ujar Puguh
lebih lanjut.
Kala itu Wakil Wali Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo, menyebut
langkah pemutusan itu akan menimbulkan keresahan di masyarakat. “Kami
berjanji segera melunasinya setelah APBD tahun depan disahkan,” kata
Rudyatmo. Menurutnya, anggaran untuk pelunasan utang tersebut sudah
disiapkan.
Seperti diungkapkan Puguh, Pemkot Surakarta masih memiliki tunggakan
rekening senilai Rp 13 milyar. Pemkot belum bersedia membayar karena
masih mempersoalkan keabsahan catatan PLN mengenai jumlah lampu yang
mencapai 17.000 titik, “Masalah titik lampu sudah klar, kini Pemkot
mempersoalkan dasar pengenaan tarifnya,” ungkap Puguh kepada media.
Kalangan anggota dewan Kota Surakarta menilai, kasus pemadam listrik
tersebut menggambarkan betapa buruknya manajemen keuangan di Pemkot
Solo. Mestinya Pemkot tidak perlu menunggu pencairan APBD karena dana
pembayaran tersebut dibebankan kepada masyarakat yang dibayar setiap
bulannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar