PRABOWO: KAMBING HITAM 1998

Satu pertanyaan yang akan selalu terlontar ketika membahas
tragedi 1998 di Indonesia adalah: benarkah Prabowo adalah dalang yang
sebenarnya?
Pada malam hari tanggal 21 Mei 1998, kisah itu dimulai. Lusinan
tentara bersiap siaga di sekitar Istana Merdeka Jakarta dan kediaman
B.J. Habibie di pinggir kota. Habibie, kurang dari 24 jam sebelumnya
telah menjadi presiden Indonesia ketiga. Komandan dari pasukan ini
adalah Letnan Jenderal Prabowo Subianto yang dikenal brutal. Seminggu
sebelunmya, dia telah menyusun kekuatan terselubung pada pertemuan yang
diselenggarakannya diam-diam—operasi-operasi pasukan khusus, preman
jalanan, dan kekuatan muslim radikal—yang bertugas membunuh, membakar,
memerkosa, merampok dan menyebarkan kebencian antar-ras di jantung kota
Jakarta. Tujuannya: untuk merusak nama saingannya, Panglima ABRI
Jenderal Wiranto, dan memaksa mertuanya, Soeharto untuk menjadikannya
sebagai panglima angkatan bersenjata. Selangkah kemudian, di puncak
kekacauan itu, dia akan menjadi presiden.
Pengunduran diri Soeharto yang terlalu dini sebagai presiden
menggagalkan ambisi-ambisi Prabowo. Maka, dia melampiaskan kernarahannya
pada Habibie. Malapetaka bagi Indonesia, dan mimpi bu-ruk bagi Asia
Tenggara, mungkin akan terjadi, jika tidak datang sebuah perintah dari
Wiranto untuk membebas-tugaskan jenderal yang berbahaya dan di luar
kontrol itu dari posisinya sebagai Pangkostrad. Dengan marah sekali,
Prabowo membawa tentaranya ke halaman istana dan mencoba mengepungnya,
lalu dengan menyandang senjata memasuki ruang kerja Habibie.
Tetapi akhirnya dia dapat dikalahkan. Usaha kudetanya ini adalah
puncak dari drama sepuluh hari di sekitar jatuhnya Soeharto, pemimpin
Indonesia selama tiga dekade.
Masalahnya, tidak semua rincian kejadian itu benar adanya, bahkan mungkin tak ada yang benar.
Yang pertama adalah tentang apa yang dilakukan Prabowo. “Saya tak
pernah mengancam Habibie,” katanya. Apakah Prabowo merencanakan
kerusuhan Mei untuk melawan etnik Cina di Indonesia sebagai jalan
menjatuhkan Wiranto atau Soeharto? “Saya tidak berada di belakang
kerusuhan-kerusuhan itu. Itu adalah kebohongan besar,” dia menjawab
dengan sungguh-sungguh. “Saya tidak pernah mengkhianati Habibie, saya
tidak pernah mengkhianati negara.”
Prabowo bukan orang suci. Selama 24 tahun, dia menjadi anggota
militer Indonesia yang setia mengikuti perintah Presiden. Dia telah
membangun pasukan khusus yang elit, Kopassus, untuk melawan
pemberontakan dan terorisme di dalam negeri. Prabowo juga telah menikahi
putri kedua Soeharto dan menikmati kekayaan, kekuatan, dan kebebasan
dari pertanggungjawaban hukum yang dinikmati oleh The First Family. Dia
mengaku menculik sembilan aktivis pada awal 1998, beberapa di antaranya
disiksa. Sekitar 12 orang lainnya yang diyakini telah diculik pada
operasi yang sama, hingga kini tak ada kabarnya.
Tapi apakah Prabowo seorang iblis? Agustus 1998, Dewan Kehormatan
Perwira (DKP) mendapati dia melakukan kesalahan dalam menafsirkan
perintah atasan, dan merekomendasikan sanksi serta pengadilan militer.
Prabowo lalu dibebas-tugaskan. Pada laporannya bulan Oktober 1998, Tim
Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah untuk menyelidiki
kerusuhan Mei meminta dia diselidiki tentang kerusuhan tersebut. Sejak
itu, media massa domestik dan mancanegara menghubungkan namanya dengan
istilah-istilah seperti “merencanakan”, “dalang yang licik, kejam, dan
sembrono”, “orang fanatik yang haus kekuasaan.”
Tertulis dalam suratkabar terbitan Asia: “Dia dikatakan membenci
orang-orang Cina”. Keyakinan bahwa dialah yang memulai
kerusuhan-kerusuhan itu dan gagal untuk menghentikannya, telah dicatat
dalam buku-buku sejarah. “Aku monster di balik semuanya,” Prabowo
berkata dengan tragis.

Menurut pendapat jurnalis veteran Aristides Katoppo: “Dia telah dibuat menjadi orang yang dipersalahkan untuk sesuatu yang tidak diperbuatnya. Dia mungkin menginginkan sesuatu. Tetapi mengadakan kudeta? Ini tidak benar. Ini disinformasi.”
Sekalipun begitu, hampir dua tahun sejak Soeharto mundur, tidak ada
bukti muncul ke permukaan yang menghubungkan Prabowo dengan
ke-rusuhan-kerusuhan yang memicu jatuhnya Orde Baru. Gambaran yang
lengkap dari hari-hari tersebut tetap tidak jelas dan tersamar dalam
laporan-laporan yang saling bertentangan, dan sumber-sumber anonim. Pada
September 1998, Marzuki Darusman, yang kemudian menjabat ketua TGPF dan
kemudian menjadi Jaksa Agung, mengungkapkan kepada para wartawan. “Saya
rasa terdapat banyak lagi hal lain, selain Prabowo. Saya mengatakan
bahwa dia hanya penjaga dari rahasia-rahasia tersebut. Dan dia mungkin
dapat dipengaruhi untuk mengungkapkan sedikit jika terpaksa.”
“Ada kelompok tertentu yang menginginkan saya menjadi kambing hitam, mungkin untuk menyembunyikan keterlibatan mereka.” (Prabowo Subianto)
Prabowo telah diadili oleh opini publik dan didapati bersalah. Tetapi
dia tidak pernah memiliki kesempatan memberikan kesaksiannya. Dia
menghabiskan waktunya di luar negeri. Sementara itu, istrinya tetap di
Indonesia dan anaknya menempuh studi di Amerika Serikat.
Saat ini, banyak orang mengakui bahwa Prabowo mungkin sasaran yang
mudah, tetapi tidak sepenuhnya sasaran yang tepat. Menurut pendapat
jurnalis veteran Aristides Katoppo: “Dia telah dibuat menjadi orang yang
dipersalahkan untuk sesuatu yang tidak diperbuatnya. Dia mungkin
menginginkan sesuatu. Tetapi mengadakan kudeta? Ini tidak benar. Ini
disinformasi.”
Prabowo sendiri percaya bahwa tuduhan terhadapnya memiliki sebuah
alasan. “Ada kelompok tertentu yang menginginkan saya menjadi kambing
hitam, mungkin untuk menyembunyikan keterlibatan mereka.”
Yang muncul dari pemikiran pribadi Prabowo, seiring penyelidikan
sebuah majalah independen, adalah sesuatu yang jauh berbeda, lebih mirip
dongeng sebenarnya, daripada penilaian umum bahwa jatuhnya Soeharto
adalah buah dari pertempuran antara si baik dan si jahat, dimana Prabowo
dianggap sebagai penjahatnya. Kisah ini adalah laporan dari dan tentang
politik tingkat tinggi Indonesia, jangkauan tertinggi politik
Indonesia, sebuah pengungkapan rahasia yang terus berubah secara tak
terduga, dan kerumitan dari aktor-aktornya. Kisah ini menantang
pemahaman kita mengenai negeri ini: militernya, keluarga mantan
penguasanya, dan sejarahnya. Apapun gambaran yang Anda dapatkan,
tidaklah mungkin melihat mundurnya Soeharto di masa lalu, atau
kepribadian dan konfliknya dengan masa sekarang, dengan cara yang sama
seperti sebelumnya.

RANGKAIAN KEJADIAN
Banyak cerita beredar di Jakarta tentang Prabowo. Pada cerita popular
tentang kejatuhan Soeharto, mantan perwira pasukan khusus seringkali
berperan sebagai pengarang cerita tersebut: tentang seorang penjahat
yang jenius, jika dia mau menjelaskan, dapat menunjukkan bagaimana
seluruh rangkaian kejadian dari peristiwa-peristiwa yang dia rencanakan
untuk memutuskan suatu persekongkolan yang cerdik.
Tetapi pada akhir kekuasaan Soeharto, dia bukan satu-satunya tokoh.
Terdapat banyak aktor, banyak motif, dan banyak kelicikan. Di tengah
kerusuhan sosial dan kemerosotan ekonomi, di kalangan elit Jakarta telah
rnenjadi jelas bahwa jauh sebelum Mei 1998, pertanyaannya bukan lagi
apakah Presiden akan mengundurkan diri atau tidak, tetapi kapan dia akan
mundur. Ini berarti mereka terlibat dalam permainan yang sulit:
bertahan dalam loyalitas terhadap Soeharto, atau setidaknya kelihatan
demikian, dan pada saat yang sama menyelamatkan diri dan bersiap meniti
masa depan tanpa Soeharto.
Para mahasiswa dan kaum oposisi yang populer, terlepas dari
high-profile mereka, adalah pemain yang paling tak berdaya. Keputusan
yang sesungguhnya dibuat di sekeliling Presiden. Ada enam anak Soeharto.
Ada wakil presidennya, Habibie. Ada menteri-menteri Soeharto dan ketua
parlemennya. Dan ada kekuatan pasukan angkatan bersenjatanya, dan dua
jenderal tingginya, Wiranto dan Prabowo.
Menjelang peristiwa Mei, Prabowo telah nyaman berada di pusat
kekuasaan. Pada Maret 1998, dia telah dipromosikan dari Danjen Kopassus
menjadi Panglima Komando Strategi Angkatan Darat. Jabatan baru
membuatnya menjadi seorang jenderal bintang tiga. Teman sejawatnya di
Kopassus, Mayor Jenderal Syafrie Syamsuddin telah menjadi komandan
garnisun ibukota sejak September 1997. Mantan pimpinan Kopassus sebelum
Prabowo, Jenderal Subagyo Hadisiswoyo, telah menjadi KSAD. Sekutunya
yang lain, Mayor Jenderal Muchdi Purwopranjono, kini menjadi bos
Kopassus yang baru.
Hubungan Jenderal Prabowo dengan atasannya, Wiranto, tak begitu baik.
“Tidak ada chemistry yang bagus di antara kami,” kata Prabowo. “Kami
tidak pernah bertugas pada unit yang sama. Kami berasal dari latar
belakang yang berbeda.”
Wiranto dan Prabowo berada dalam posisi yang seimbang. Tetapi pada bulan Maret, saat MPR memilih kembali Soeharto dan menunjuk Habibie sebagai Wakil Presiden, Prabowo kelihatan melangkah satu tingkat lebih tinggi. Dia sahabat lama Habibie. Mereka sama-sama mempunyai watak khas barat dan sebuah idealisme yang optimistis.
Wiranto tumbuh dewasa dalam tradisi Jawa. Prabowo tumbuh dewasa di
luar negeri, di ibukota-ibukota negara-negara di Eropa dan Asia. Prabowo
selalu ditempatkan pada tugas lapangan dan medan tempur, sedangkan
Wiranto menghabiskan waktu pada pekerjaan staf dan teritorial. Setelah
empat tahun bertugas sebagai ajudan Soeharto, karir Wiranto melesat
menjadi Pangdam Jaya dan Pangkostrad. Tahun 1997 dia menjadi KSAD. Maret
1998, Soeharto menjadikannya sebagai panglima angkatan bersenjata dan
menteri pertahanan. Kepada Wiranto, Asiaweek mengirim klaim dan komentar
Prabowo yang menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam laporan ini. Ajudan
Wiranto menjawab bahwa Wiranto memutuskan untuk menanggapinya dalam
edisi Asiaweek selanjutnya.
Wiranto dan Prabowo berada dalam posisi yang seimbang. Tetapi pada
bulan Maret, saat MPR memilih kembali Soeharto dan menunjuk Habibie
sebagai Wakil Presiden, Prabowo kelihatan melangkah satu tingkat lebih
tinggi. Dia sahabat lama Habibie. Mereka sama-sama mempunyai watak khas
barat dan sebuah idealisme yang optimistis. “Saya suka pandangannya
tentang teknologi tinggi,” kata Prabowo. “Hal itu menarik hati saya.”
Selalu terdapat hal seperti ini: “Kami akan menunjukkan bahwa Indonesia
dapat menjadi luar biasa.” Mereka sering bertemu. Di antara sesama
jenderal, Prabowo merupakan pelindung Habibie yang sangat bersemangat.
Kesehatan Soeharto mulai goyah. Dia terkena stroke ringan pada bulan
Desember 1997. Habibie memiliki kesempatan yang baik untuk
menggantikannya, peluangnya jauh lebih baik daripada yang pernah dialami
para wakil presiden sebelumnya. Bagi Prabowo, kenaikan Habibe menjadi
presiden berarti sebuah peluang emas untuk menjadi Panglima ABRI.
“Beberapa kali dia (Habibie) menyebutkan: kalau saya jadi presiden, kamu
akan menjadi panglima angkatan bersenjata, kamu akan berbintang empat.”

Ketika dia telah mendapatkan satu reputasi atas kesetiaan penuhnya pada Soeharto, Prabowo juga memelihara hubungan dengan pihak-pihak yang mengkritik rezim Orde Baru.
Itu akan menjadi kenyataan jika terjadi suksesi wajar. Runtuhnya
rupiah, yang mulai pada bulan Oktober 1997, telah mengirimkan gelombang
kerusuhan sosial ke seluruh Nusantara. Januari 1998, sebuah bom meledak
di sebuah apartemen di Jakarta yang sedang dipakai oleh anggota sayap
kiri Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang terlarang. Militer berusaha
menghadapi tuntutan demonstrasi mahasiswa. Beberapa aktivis hilang
secara misterius pada 27 April. Pius Lustrilanang memberi kesaksian
tentang penculikan dan dua bulan penahanannya. Itu adalah laporan
pertama dari banyak laporan oleh para aktivis yang diculik. Selama
interogasinya, Lustrilanang mengatakan, dia telah disetrum dengan aliran
listrik dan dibenamkan ke dalam air. Walau Wiranto menyangkal bahwa
penculikan itu adalah policy, muncul kecurigaan umum yang diarahkan pada
tubuh militer, khususnya Kopassus, yang masih identik dengan Prabowo,
meskipun dia tidak lagi bersatu dengan unit tersebut.
Ketika dia telah mendapatkan satu reputasi atas kesetiaan penuhnya
pada Soeharto, Prabowo juga memelihara hubungan dengan pihak-pihak yang
mengkritik rezim Orde Baru. Prabowo menjalin hubungan dengan Jenderal
Nasution hingga Adnan Buyung Nasution, seorang ahli hukum yang menjadi
pendiri Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, sebuah lembaga yang banyak
membela dan membantu aktivis-aktivis anti-Soeharto.
Prabowo membangun hubungan dengan tokoh-tokoh muslim, yang menganggap
diri mereka menjadi korban pemerintahan militeristik yang dipengaruhi
oleh kekuatan Kristen, sekaligus korban pengucilan ekonomi dalam
dominasi etnik Cina. Di antara mereka ada nama Amien Rais, seorang
profesor dari Yogyakarta yang melakukan perlawanan terhadap kekuatan
Kristen dan dominasi etnis Cina di bidang ekonomi dan bisnis, dan mulai
mengeluarkan kritik terbuka terhadap Soeharto.
Kontak-kontak Prabowo yang tidak lazim itu, dan kedekatannya dengan
Habibie, membuatnya terasing dari lingkungannya di sekeliling Presiden.
KERUSUHAN
Kejadian tersebut bermula hari Selasa, 12 Mei, ketika Prabowo
menerima panggilan telepon. Beberapa mahasiswa tertembak selama
demonstrasi di Universitas Trisakti. Naluri pertama Prabowo adalah untuk
menyalahkan pasukan keamanan yang tidak disiplin. “Kadang-kadang polisi
dan tentara kita begitu tidak profesional. Anda dapat melihat beberapa
kesatuan seperti itu. Ya, Tuhan, ini bodoh. Itu adalah reaksi pertama
saya.”
Merasa situasi darurat segera terjadi, dia pergi ke markas besarnya
di Medan Merdeka, yang hanya terletak di samping markas garnisun.
Sebagai Panglima Kostrad, tugas Prabowo adalah menyediakan anak buah dan
peralatan. “Saya memanggil pasukan, menyiagakan mereka,” katanya.
“Pasukan ini selalu di bawah kendali operasional dari komandan garnisun.
Itulah sistem kami. Saya pada dasarnya hanya berkapasitas sebagai
pemberi saran. Saya tidak mempunyai wewenang.”
Dia kembali ke rumah setelah tengah malam, tetapi kembali ke markas
Kostrad pagi-pagi esok harinya, 13 Mei. Ketika perusuh mulai merampok
dan membakar gedung-gedung, Prabowo menghabiskan waktu seharian untuk
memikirkan cara bagaimana menggerakkan dan menampung
batalion-batalionnya. Kecemasan lain: esok harinya Wiranto telah
dijadwalkan memimpin sebuah upacara angkatan darat pada pagi berikutnya
di Malang, Jawa Timur, sekitar 650 km lebih dari ibukota yang sedang
kacau. Sepanjang tanggal 13 Mei, Prabowo berkata bahwa dia mencoba
membujuk Wiranto untuk membatalkan kehadirannya di Malang. “Saya
menganjurkan bahwa kita membatalkan upacara tersebut di Malang,”
katanya. “Jawabnya: tidak, upacara tersebut tetap berlangsung. Saya
menelepon kembali. Itu terjadi bolak-balik. Delapan kali saya menelepon
kantornya, delapan kali saya diberitahu bahwa upacara itu harus tetap
dilaksanakan.”
Jadi pada jam enam pagi, hari Kamis tanggal 14 Mei, Prabowo tiba di
pangkalan udara Halim di Jakarta Timur. Dia mengatakan terkejut, pada
situasi yang tegang seperti ini, menjumpai sebagian besar pimpinan
militer ada di sana. Selama penerbangan dan upacara, dia mengatakan
bahwa Wiranto dan dia tak banyak bicara satu sama lain.
Mereka tiba kembali di ibukota lewat tengah hari. Prabowo kembali ke
markas besar Kostrad, lalu langsung menemui Syafrie. Pangdam Jaya saat
itu akan mensurvei bagian barat kota dengan helikopter. Prabowo menerima
ajakan Syafrie untuk bergabung. Sambil menyaksikan hari kedua kerusuhan
dari langit yang berasap, Prabowo tak habis pikir, “Mengapa terdapat
begitu sedikit tentara di sekitarnya?”
Sekitar jam 03.30 sore hari, Prabowo meninggalkan Kostrad untuk
menemui Habibie. Presiden sedang berada di Kairo sejak 9 Mei untuk
menghadiri sebuah konferensi tingkat tinggi. Wakil Presiden dan Prabowo
berbincang tentang kemungkinan sebuah suksesi. Berdasarkan konstitusi,
Prabowo menjelaskan bahwa Habibie adalah pengganti Soeharto. Kemudian
berganti topik tentang siapa Pangab berikutnya. “Saya harus tahu tentang
pergantian itu,” kata Prabowo. “Dia (Habibie) berkata, ‘jika namamu
muncul, saya akan setujui’. Ada sebuah perbedaan besar di sana.”

Tengah malam, Prabowo ditelepon sekretarisnya. Buyung Nasution dan sekelompok tokoh dari berbagai latar belakang ingin menemuinya.
Dalam perjalanan kembali menuju markas Kostrad, Prabowo memperhatikan
bahwa urat nadi bisnis utama Jakarta kelihatan tak terkawal. Dia
bertemu komandan garnisun. “Saya berkata: Syafrie, di Jalan Thamrin
tidak ada tentara. Dia meyakinkan saya bahwa ada cukup tentara. Dia
meminta saya ikut, dan kami memeriksanya.” Prabowo menyarankan untuk
mengambil separuh dari 16 kendaraan lapis baja yang sedang menjaga
kementerian pertahanan dan mengirim mereka ke Jalan Thamrin. Hal itu
dilaksanakan.
Tengah malam, Prabowo ditelepon sekretarisnya. Buyung Nasution dan
sekelompok tokoh dari berbagai latar belakang ingin menemuinya.
Pertemuan 14 Mei ini akan menjadi perhatian utama pada investigasi
selanjutnya mengenai kerusuhan Mei.
“Ketika saya tiba di markas, mereka ada di sana,” kata Prabowo. “Saya
tidak memanggil mereka, mereka menanyakan, apa yang sedang terjadi?”
Buyung Nasution mengkonfirmasi kebenaran rumor yang beredar bahwa
Prabowo-lah yang mendalangi kerusuhan, penembakan di Trisakti, begitu
juga penculikan-penculikan.
Buyung juga bertanya apakah terdapat persaingan antara dia dan
Wiranto. Prabowo menyangkal semuanya. “Bagaimana bisa terjadi
persaingan?” dia menjelaskan sekarang. “Dia bintang empat, saya bintang
tiga. Saya sedang mencoba untuk mengejarnya. Tapi bukankah saya calon
yang tepat untuk menggantikannya?”
Setelah menghadiri rapat komando yang dipimpin langsung oleh Wiranto,
Prabowo tiba di tempat pertemuan berikutnya hampir jam satu malam. Dua
teman dekat Abdurrahman Wahid menyarankan agar Prabowo menjumpai ulama
itu, yang hampir saja terlelap saat sang jenderal tiba. Wahid, alias Gus
Dur, masih berkenan menerima Prabowo dan bertanya tentang situasi yang
kacau balau. “Saya katakan, kami bisa mengendalikan situasi esok hari,”
kata Prabowo.
Setelah berganti baju, Prabowo langsung menuju bandara Halim Perdana
Kusuma, di mana Soeharto mendarat, Jumat, 15 Mei dinihari. Prabowo
menunggu di dalam mobil ketika Wiranto bertemu Soeharto. Mereka bertiga,
disertai sebagian besar petinggi militer, melaju menuju kediaman
Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta Pusat.

Pada akhir pemerintahannya, Soeharto menjadi begitu tergantung pada menteri-menterinya, jenderal-jenderalnya, dan anak-anaknya yang mengelilinginya setiap waktu. Soeharto adalah pemimpin mereka, tetapi rasanya, orang tua itu juga menjadi tawanan mereka.
Prabowo berkata, Soeharto bermuka masam di depannya. Sekarang Prabowo
sadar bahwa saat itu Soeharto berpikir menantunya itu memiliki rencana
menggulingkannya. Kata Prabowo, “Muncul di koran-koran bahwa Jenderal
Nasution, yang semua orang tahu dekat dengan saya, mengatakan bahwa
Amien Rais harus bicara dengan Jenderal Prabowo untuk mengendalikan
situasi. Informasi ini pasti sampai kepada Pak Harto.”
Pada akhir pemerintahannya, Soeharto menjadi begitu tergantung pada
menteri-menterinya, jenderal-jenderalnya, dan anak-anaknya yang
mengelilinginya setiap waktu. Soeharto adalah pemimpin mereka, tetapi
rasanya, orang tua itu juga menjadi tawanan mereka.
“Ada seni intrik istana yang sudah berakar ribuan tahun,” kata
Prabowo. “Anda berbisik dengan sangat hati-hati, dan meracuni pikiran
seseorang. Saya mencoba memberikan informasi, tetapi saya justru
dianggap ikut campur. Ada orang yang meracuni pikirannya (Soeharto):
bahwa menantunya ada di sana hanya untuk merebut kekuasaan.”
Pemikiran itu, Prabowo yakin, ikut membantu menjatuhkannya.
PENGUNDURAN DIRI
Suara-suara yang menghendaki perubahan semakin kencang. Fraksi-fraksi
dari partai yang berkuasa, jenderal-jenderal purnawirawan, semua
menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto. Pada tanggal 15 Mei, para
pimpinan Nandatul Ulama (NU) menyampaikan pernyataan politik dengan lima
pokok. Satu poin menggarisbawahi penghargaan mereka atas pernyataan
Soeharto di Mesir: “Bila saya tidak lagi dipercaya, saya akan menjadi
seorang pandito (orang bijaksana).” Tanggapan NU ini merupakan cara
diplomatis dari sikap mereka yang percaya bahwa era Soeharto telah
berakhir.
Prabowo menghabiskan hampir seluruh akhir pekannya, dari tanggal 15
Mei hingga tanggal 17 Mei, di markas Kostrad untuk menangani
pasu-kannya. Sabtu sore, tanggal 16 Mei, seorang teman memperlihatkan
selembar salinan yang tampaknya seperti suatu pernyataan pers dari Mabes
ABRI yang mendukung sikap NU. Prabowo langsung pergi menghadap
Presiden. “Pak, ini berarti militer meminta Bapak mundur!” katanya
memberitahu Soeharto.
Presiden lantas meminta menantunya untuk memeriksanya pada Jenderal
Subagyo. Ternyata, KSAD tidak tahu apa-apa. Kedua jenderal itu langsung
menghadap Soeharto. Pagi-pagi sekali, 17 Mei, Mabes ABRI menarik kembali
pemyataan tersebut sebelum sempat diterbitkan di banyak surat kabar.
Menurut Prabowo, beberapa waktu kemudian, di pagi yang sama, Wiranto
tiba di Cendana untuk menekankan kepada Soeharto bahwa ia juga tidak
tahu apa-apa mengenai pernyataan tersebut.

Hal tersebut menyingkap hal yang masih tersembunyi. Bagaimana sebuah pernyataan yang begitu sensitif dapat timbul tanpa sepengetahuan juru bicara atau Panglima ABRI?
Saya sendiri berhasil mendapat salinan press release tersebut,
tertanggal 16 Mei. Rilis tersebut tidak bertanda tangan resmi atau tidak
berkepala surat ABRI. Saya sempat bertemu Brigjen A. Wahab Mokodongan,
juru bicara resmi ABRI pada bulan Mei 1998. Ia memastikan, militer telah
menarik pernyataan tersebut, tetapi menyatakan bahwa ia tidak
mengetahui asal mulanya. Setelah konferensi pers pada larut malam,
katanya, ia heran mendapatkan pernyataan tersebut dalam mesin
fotokopinya. Sewaktu ia melaporkan pada Wiranto, Panglima ABRI segera
memerintahkan penyelidikan. Mokodongan mengatakan pihak intel memeriksa
semua komputer dalam lingkup markas besar. “Tidak ditemukan yang seperti
ini,” katanya.
Malam harinya di Cendana, Prabowo mengaku bertemu Wiranto, yang memberitahu bahwa anak-anak Soeharto ingin berperang. “Bagaimana mungkin?” jerit Prabowo.
Kami berbicara dengan tiga wartawan Indonesia yang meliput
peristiwa-peristiwa sepanjang tahun 1998. Dua orang teringat bahwa
mereka menerima pernyataan tersebut pada konferensi pers Wahab
Mokodongan. (Seorang wartawan bahkan secara pasti ingat betul bahwa
Mokodongan telah membacakannya). Seorang lainnya yakin majalahnya bahkan
mendapat faks dari kantor Mokodongan. Hal tersebut menyingkap hal yang
masih tersembunyi. Bagaimana sebuah pernyataan yang begitu sensitif
dapat timbul tanpa sepengetahuan juru bicara atau Panglima ABRI?
Pada tanggal 18 Mei, Prabowo bertemu Amien Rais. Tokoh oposisi ini,
seingat Prabowo, mengatakan: “Saya rasa situasinya sekarang tidak dapat
dipertahankan lagi. Saya rasa Anda harus meyakinkan Pak Harto untuk
mundur.” Tetapi posisi Prabowo jelas-jelas tidak memungkinkan. Malam
harinya di Cendana, Prabowo mengaku bertemu Wiranto, yang memberitahu
bahwa anak-anak Soeharto ingin berperang. “Bagaimana mungkin?” jerit
Prabowo. Hari itu, Amien Rais menyampaikan seruan berdemonstrasi pada
tanggal 20 Mei di Monas. Prabowo berusaha mencegahnya, karena dicemaskan
akan dihadiri ribuan orang, dan mung-kin akan jatuh korban.
Prabowo kemudian menemui putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti
Rukmana, alias Tutut. Menurut Prabowo, Tutut bertanya apa langkah mereka
berikutnya. “Saran saya,” kata Prabowo, “ganti Wiranto atau terapkan UU
darurat. Soeharto tidak ingin melakukan keduanya. Maka saya berkata:
‘Apakah ada cara lain?’.”
Tutut lalu bertanya apa yang akan terjadi bila ayahnya mundur.
Prabowo menjawab, berdasarkan undang-undang, Habibie yang akan
menggan-tikan.
Seruan langsung bagi Soeharto untuk mundur datang pada hari yang
sama. Kira-kira pukul 03.00 petang, pada tanggal 18 Mei, dengan
didudukinya gedung parlemen oleh mahasiswa yang berdemonstrasi, Ketua
MPR Harmoko rneminta pengunduran diri Soeharto. Larut malamnya, Wiranto
mengeluarkan pernyataan di depan konferensi pers bahwa pernyataan
Harmoko dan kawan-kawan dari parlemen merupakan “pendapat pribadi”.
Sehubungan dengan keberadaan para mahasiswa di gedung parlemen,
petang hari sebelumnya Wiranto telah bertemu dengan sekelompok ak-tivis,
termasuk pula pimpinan alumni Universitas Indonesia, Hariadi Darmawan.
Mereka memastikan bahwa para mahasiswa merencanakan untuk bergerak
menuju parlemen, dan mendiskusikan cara terbaik untuk mencegah kerusuhan
yang akan terjadi. Seseorang menyarankan agar para mahasiswa dijaga
oleh militer, atau dibawa ke parlemen dengan kendaraan.
Malam itu, Wiranto menemui perwira senior untuk mendiskusikan demonstrasi. “Rapat yang diketuai Wiranto memutuskan bahwa perintahnya adalah untuk mencegah arak-arakan dengan segala cara,” kata Prabowo mengingat kembali. “Saya berkali-kali menanyakan apa maksudnya. Apakah kami menggunakan peluru tajam? Ia (Wiranto) tidak memberi jawaban jelas.”
Pagi berikutnya, kata Pangdam Jaya Syafrie Syamsuddin, ia
diperintahkan dua ajudan Wiranto untuk menyiapkan transportasi. Sekitar
pukul 10.00 pagi, katanya, ia juga mendapat informasi bahwa pimpinan MPR
telah memberikan izin masuk kompleks parlemen bagi para mahasiswa. Para
mahasiswa menolak hampir seluruh kendaraan militer, tetapi selama
mereka datang dengan kendaraan, Syafrie menjamin mereka tidak akan
mendapatkan gangguan sepanjang perjalanan menuju parlemen.
Hari berikutnya, tanggal 19 Mei, Prabowo sepenuhnya terlibat dalam
upaya mengamankan Monas dari demonstrasi yang telah direncanakan Amien
Rais. Malam itu, Wiranto menemui perwira senior untuk mendiskusikan
demonstrasi. “Rapat yang diketuai Wiranto memutuskan bahwa perintahnya
adalah untuk mencegah arak-arakan dengan segala cara,” kata Prabowo
mengingat kembali. “Saya berkali-kali menanyakan apa maksudnya. Apakah
kami menggunakan peluru tajam? Ia (Wiranto) tidak memberi jawaban
jelas.”
Sepanjang malam, Amien Rais menerima utusan-utusan yang dikirim untuk
membujuknya membatalkan demonstrasi. Ia akhirnya mengalah dan
arak-arakan yang ditakuti tidak pernah terjadi. Tetapi tanggal 20 Mei,
Soeharto mendapat dua pukulan. Empat belas menterinya mengundurkan diri
dari kabinet. Dan ia berulangkali mendapat penolakan dari orang-orang
yang dimintanya untuk duduk dalam “Komite Reforrnasi”.
Setelah matahari terbenam, Prabowo mengunjungi Habibie. “Saya
berbicara dengannya: Pak, Pak Harto mungkin akan mundur. Bapak siap? Ia
(Habibie), Anda tahu, ya ya ya. Saya katakan: Anda harus bersiap-siap.”
Dari kediaman Habibie, Prabowo kembali ke Cendana. “Begitu jelas
semuanya aman, saya masuk, masih mengenakan seragam militer,” dia
berkata. “Saya pikir saya akan dapat tepukan di pundak: berhasil
mencegah aksi demonstrasi. Tidak ada lagi pembunuhan. Tidak ada lagi
martir. Pasukan terkendali. Syafrie telah melakukan tugasnya dengan
baik. Dan… kemudian, plak!!!”
“… Belakangan isteri saya mengatakan bahwa ada laporan saya bertemu Habibie tiap malam. Saya ketemu Gus Dur, Amien Rais dan Buyung Nasution. Tapi kami tidak berunding untuk menjatuhkan Soeharto.”
Di ruang keluarga, kata Prabowo, duduklah keluarga Soeharto dengan
Wiranto. Yang pertama berdiri adalah Siti Hutami Endang Adiningsih,
putri bungsu Soeharto. Prabowo mencoba mengingat kembali. “Mamiek
menatap saya, lalu menudingkan jarinya seinci dari hidung saya dan
ber-kata: ‘Kamu pengkhianat!’, dan kemudian ‘Jangan injakan kakimu di
rumah saya lagi!’ Akhirnya saya keluar. Saya menunggu. Saya ingin masuk.
Saya bilang bahwa saya butuh penjelasan. Namun istri saya hanya bisa
menangis.”
PRABOWO PULANG KE RUMAH
Hari berikutnya, tanggal 21 Mei, pada pukul 09.05 pagi, setelah
ditinggalkan oleh parlemen dan kabinetnya, Soeharto secara resmi
mengundurkan diri, setelah 32 tahun berkuasa sebagai presiden. Pidato
pengundurannya yang singkat itu disiarkan ke seluruh penjuru negeri.
Walaupun mengalami penghinaan malam sebelumnya di Cendana, Prabowo masih
menghadiri upacara tanggal 21 Mei, katanya, untuk memberikan dukungan
moral pada penerus Soeharto, Habibie. Sesudah Habibie diambil sumpahnya,
Wiranto berdiri untuk menyampaikan pernyataan bahwa dirinya dan ABRI
akan melindungi Soeharto dan keluarganya.
Sewaktu keluarga Soeharto kembali menuju Cendana, Prabowo mengikuti
mereka. “Saya pergi hanya untuk menenteramkan Pak Harto,” katanya.
“Tetapi tentu saja saya sudah dituduh menjadi pengkhianat. Situasinya
sangat tegang antara saya dan anak-anak Pak Harto. Belakangan isteri
saya mengatakan bahwa ada laporan saya bertemu Habibie tiap malam. Saya
ketemu Gus Dur, Amien Rais dan Buyung Nasution. Tapi kami tidak
berunding untuk menjatuhkan Soeharto. Kami membicarakan cara terbaik
untuk meredakan aksi kekerasan ini.” Soeharto dan keluarganya sama
sekali tidak menjawab permintaan tanggapan atas pernyataan-pernyataan
Prabowo yang diajukan Asiaweek.
PERUBAHAN BESAR
Habibie pun menjadi presiden. Tanggal 21 Mei, pukul 16.00, Prabowo
menemui sahabat dan tokoh yang dikaguminya itu untuk menyampaikan ucapan
selamat. “Ia mencium kedua pipi saya,” kata Prabowo, yang sengaja
meminta waktu untuk ketemu sore itu.
Malam itu juga, Prabowo tiba di kediaman Habibie, ditemani Komandan
Kopassus, Muchdi. Karena Wiranto mungkin akan tetap menjadi menteri
pertahanan, Prabowo mengatakan ia menyarankan agar KSAD Subagyo
dijadikan Panglima ABRI untuk mencegah terkonsentrasinya kekuasaan hanya
pada satu orang saja. Usulan itu menjadikan Prabowo calon terbaik untuk
menggantikan Subagyo sebagai KSAD. “Benar, saya mencoba mempengaruhi
(Habibie),” aku Prabowo. “Saya dekat dengannya!” Tidak pernah
sedikitpun, kata Prabowo, ia mengancam presiden baru sebagaimana kabar
burung yang beredar selama ini.
Hari berikutnya, 22 Mei, setelah sholat Jumat, telepon Prabowo
berdering. Pataka Kostrad diminta oleh Mabes Angkatan Darat. Prabowo
mengingat, “Mereka meminta bendera saya. Yang berarti mereka ingin
mengganti saya.” Dia buru-buru kembali ke Kostrad. “Saya masih ingat
Habibie mengatakan: ‘Prabowo, jika kamu sedang bingung, datang saja pada
saya dan jangan memikirkan tentang protokol’. Saya mengenal beliau
sudah lama. Saya rasa, oke, saya akan ketemu Habibie. Dia ada di istana.
Jadi, saya pergi ke sana.”
Dia datang menjelang sore, dalam konvoi tiga Land Rover berisi staf
dan pengawal. “(Kami) masuk,” kata Prabowo. “Situasi sangat tegang.
Penga-wal kepresidenan menatap saya dengan wajah aneh. Saya pikir karena
saya dilaporkan akan menyerang atau semacam itu. Saya bertemu ajudan
Presiden dan mengatakan: Saya ingin menemui Pak Habibie. Saya hanya
minta waktu 10 menit. Saya hanya ingin menanyakan sesuatu pada beliau.
Ini sangat penting bagi saya.”
Sebelum memasuki ruangan Habibie, Prabowo mengatakan dia menyerahkan
pistolnya. “Karena begitu prosedurnya. Kalau Anda menghadap atasan, Anda
harus meninggalkan senjata. Saya tidak dilucuti.”
“Dalam benak saya (Habibie) waktu itu masih memercayai saya, tetapi dia telah dihasut.”
Kemudian dia berjalan ke ruangan presiden. “Dia mencium kedua pipi
saya,” kata Prabowo. “Saya berkata: Pak, tahukah Bapak bahwa saya akan
digantikan hari ini? ‘Ya, ya, ya,’ katanya. ‘Mertuamu memintaku untuk
menggesermu. Itulah yang terbaik. Jika kamu ingin mundur dari
kemiliteran, saya akan menjadikanmu duta besar di Amerika Serikat’.
Itulah yang dia katakan.”
Prabowo mengatakan jika dia sangat terkejut. “Oh Tuhan, ada apa ini?”
dia coba mengingat. “Dalam benak saya (Habibie) waktu itu masih
me-mercayai saya, tetapi dia telah dihasut. Kemudian, saya menemui
Subagyo. Ketika masuk, saya bertemu beberapa jenderal yang mendukung
saya. Pesan mereka adalah: mari buat perlawanan. Saya berkata: tenang
saja. Saya ketemu Muchdi di sana. Kami mengatakan: kami akan menyingkir,
tetapi beri kami waktu, sehingga orang berpikir normal saja ada
pergantian posisi. Saya pikir Subagyo beralih ke Wiranto. Wiranto
berkata: tidak, harus hari ini.
DALANG
Bahkan, setelah digeser dari jabatannya, dibuang oleh sekutunya, dan
dijatuhkan oleh saingannya, hal terburuk masih menanti Prabowo. Bulan
berikutnya, para perwira yang dianggap dekat dengannya dimutasikan atau
dinonaktifkan. Pada 25 Juni, Wiranto menggeser Syafrie dari jabatan
Pangdam Jaya, sebuah permulaan dari perombakan besar-besaran di tubuh
militer. Setelah berdirinya Dewan Kehormatan Perwira, Komandan Jen-deral
Kopassus Muchdi dan seorang kolonel Kopassus dicopot dari jabatannya.
Ditambah lagi beredarnya rumor yang makin kencang bahwa Prabowo dan
anak buahnya telah menyebabkan kerusuhan Mei. Pada 23 Juli, Habibie
menyusun 18 anggota TGPF untuk menemukan “dalang” di balik kerusuhan
massal di 6 kota besar, termasuk Jakarta. Setelah bekerja tiga bulan,
TGPF menyimpulkan bahwa penculikan, krisis ekonomi, Sidang Umum MPR,
aksi-aksi demonstrasi dan tragedi Trisakti semua berhubungan erat dengan
kerusuhan.
Butir pertama dari sembilan rekomendasi adalah agar pemerintah
melakukan pengusutan terhadap pertemuan 14 Mei di Kostrad untuk
“menemukan peran Letjen Prabowo dan sekutu-sekutunya dalam proses yang
mengarah pada kerusuhan”.
“Apa motivasi kami merancang kerusuhan,” ia bertanya. “Kepentingan kami adalah mempertahankan kekuasaan. Saya bagian dari rezim Soeharto. Jika Pak Harto bertahan tiga tahun lagi, saya mungkin sudah jadi jenderal bintang empat. Mengapa saya harus membakar ibukota? Itu bertentangan dengan kepentingan saya, selain berlawanan dengan prinsip saya.”
Dalam ringkasan eksekutif yang disebarkan ke berbagai media massa,
tidak disebut nama Prabowo sebagai dalang kerusuhan. Tapi tuduhan itu
mengarah padanya, pada pertemuan 14 Mei, dan sebelas kali penyebutan
namanya. Itu lebih dari Syafrie, yang namanya disebut empat kali, atau
Wiranto, yang saat itu masih menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan
sekaligus Panglima TNI. Nama Wiranto hanya disebutkan sekali, itupun
sebagai salah satu penandatangan dekrit yang membentuk TGPF.
“Bagaimana mungkin saya mengadakan pertemuan merancang kerusuhan pada tanggal 14?” tanyanya. “Padahal kerusuhan dimulai pada tanggal 13. Dan yang menemui saya adalah kaum oposisi Orde Baru.”
Prabowo mengecam berbagai insinuasi dalam laporan tersebut. “Apa
motivasi kami merancang kerusuhan,” ia bertanya. “Kepentingan kami
adalah mempertahankan kekuasaan. Saya bagian dari rezim Soeharto. Jika
Pak Harto bertahan tiga tahun lagi, saya mungkin sudah jadi jenderal
bintang empat. Mengapa saya harus membakar ibukota? Itu bertentangan
dengan kepentingan saya, selain berlawanan dengan prinsip saya.” Dia
menganggap laporan itu tidak logis. “Bagaimana mungkin saya mengadakan
pertemuan merancang kerusuhan pada tanggal 14?” tanyanya. “Padahal
kerusuhan dimulai pada tanggal 13. Dan yang menemui saya adalah kaum
oposisi Orde Baru.”
“Kalaupun Anda tak percaya jika saya masih memiliki rasa kemanusiaan,” bantahnya, “kalau kami menghancurkan etnis Cina, perekonomian kami juga ikut hancur. Ini seperti bunuh diri. Jika saya memulai kerusuhan, mengapa saya tidak dijatuhi dakwaan?! Sebab, bukti-bukti akan mengarah pada mereka yang menuduh saya.”
Dia rnembantah kesan bahwa dia anti Cina. Katanya, seperti pada
umumnya orang Indonesia, dia tidak setuju kalau etnis minoritas Cina
mengendalikan sebagian besar perekonomian. “Para pengusaha Cina berpikir
saya akan menyingkirkan mereka. Tapi model ekonomi saya adalah
kebijakan ekonomi baru Malaysia.”
Apakah ini berarti dia tidak memulai kerusuhan untuk memberi pelajaran pada etnis Cina?
“Kalaupun Anda tak percaya jika saya masih memiliki rasa
kemanusiaan,” bantahnya, “kalau kami menghancurkan etnis Cina,
perekonomian kami juga ikut hancur. Ini seperti bunuh diri. Jika saya
memulai kerusuhan, mengapa saya tidak dijatuhi dakwaan?! Sebab,
bukti-bukti akan mengarah pada mereka yang menuduh saya.”
Untuk menemukan bukti-bukti dimaksud, saya mengamati dokumen-dokumen
hasil kerja TGPF. Saya menyimak dengan teliti semua salinan sampai
volume enam. (Hanya volume pertama, yang berisi ringkasan eksekutif,
yang dibagikan ke media massa untuk dipublikasikan).
Empat dari lima volume lainnya berisi laporan korban dan kerusakan,
kisah saksi mata tentang kerusuhan dan pemerkosaan, dan percobaan un-tuk
mengenali pola kejadian. Satu volume berisi transkrip wawancara
terhadap perwira-perwira militer yang sedang bertugas pada saat
kerusuhan itu terjadi. Sebagai tambahan, saya berbicara dengan sembilan
dari 18 anggota TGPF, seperti sejarawan Hermawan Sulistyo, yang memimpin
12 anggota tim yang bekerja keras di lapangan.
Apakah kerusuhan sengaja direncanakan? Banyak orang yang
melaporkannya kepada tim percaya kerusuhan itu direncanakan, tetapi
tidak ada bukti sedikit pun dalam enam volume dokumen yang menguatkan
pernyataan saksi mata, atau yang memberi petunjuk tentang siapa orang
yang berada di balik kerusuhan.
Awal-mula kerusuhan tetap menjadi satu pertanyaan tak terjawab.
Inilah yang hendak dikaitkan dengan pertemuan 14 Mei. Namun, ketika saya
berbicara pada tiga orang dari mereka yang hadir, termasuk anggota TGPF
Bambang Widjojanto, semua menyangkal keterkaitan mereka dengan
kerusuhan. Mereka mengulangi penyangkalannya pada konferensi pers sehari
setelah laporan TGPF dipublikasikan. Kesaksian mereka nampak cocok
dengan pengakuan Prabowo.
Benarkah Panglima Kostrad dengan sengaja membiarkan kerusuhan terjadi
di luar kendali? Akan sangat sulit baginya untuk bertindak, karena ia
tidak mempunyai wewenang. Di bawah prosedur baku, Kapolda menangani
keamanan kota. Komando diambil alih Komandan Garnisun (Pangdam Jaya)
jika polisi tidak mampu memulihkan ketertiban.
Syafrie dengan tegas menyangkal jika Prabowo memegang kendali terhadap dirinya. “Prabowo tidak pernah memengaruhi saya,” ujar Syafrie. “Dia itu teman saya, tetapi saya harus memegang prosedur dalam tugas saya.”
Faktanya, ini diakui oleh Kapolda Mayjen Hamami Nata kepada TGPF pada
28 Agustus 1998, dan dibenarkan oleh Syafrie. Mantan Pangdam Jaya itu
memastikan kapan saat penyerahan komando tersebut, yaitu sore hari
tanggal 14 Mei. Gerombolan perusuh mulai menyerang pos-pos polisi,
sehingga polisi menarik diri untuk menghindari jatuhnya korban. Sejak
sore tanggal 14 Mei itu, Syafrie mengambil alih. Tanggal 15 Mei,
kerusuhan meluas.
Pengumuman laporan TGPF ditunda sampai 3 November karena adanya pertentangan di dalam komisi. “Situasinya sangat bernuansa politik,” tambah anggota TGPF, Nursjabani Katjasungkana. “Opini telah terbentuk. Dalam proses merangkai fakta, sulit memisahkan dengan tegas antara fakta dan opini.”
Syafrie dengan tegas menyangkal jika Prabowo memegang kendali
terhadap dirinya. “Prabowo tidak pernah memengaruhi saya,” ujar Syafrie.
“Dia itu teman saya, tetapi saya harus memegang prosedur dalam tugas
saya.”
Kenyataannya, atasan langsung Syafrie adalah Wiranto.
Pengumuman laporan TGPF ditunda sampai 3 November karena adanya
pertentangan di dalam komisi. “Situasinya sangat bernuansa politik,”
tambah anggota TGPF, Nursjabani Katjasungkana. “Opini telah terbentuk.
Dalam proses merangkai fakta, sulit memisahkan dengan tegas antara fakta
dan opini.”
Perdebatan tak dapat dihindarkan antara anggota komisi yang sipil dan
militer, di antara mereka yang ingin membatasi pada temuan bukti-bukti
yang dapat diterima menurut hukum, dan mereka yang menganggapnya sebagai
“fakta sosial”. Satu hal yang menggemparkan dari temuan fakta adalah
jumlah korban pemerkosaan. Sulistyo menyebutkan bahwa dari 109 kasus
pemerkosaan yang dilaporkan, timnya hanya bisa memverifikasi 14 kasus.
Akan tetapi beberapa orang dalam komisi yang telah menerima laporan
kasus langsung dari korban, merasa bahwa jumlah tersebut seharusnya
lebih tinggi. Angka yang muncul pada laporan akhir adalah 66 kasus
pemerkosaan yang telah diverifikasi, ditambah 19 korban pelecehan dan
kekerasan seksual.
Dalam transkrip, anggota tim meminta Subagyo mencari hubungan antara hilangnya empat aktivis pada puncak kerusuhan dengan penculikan para aktivis yang terjadi sebelumnya. Tetapi Subagyo, setidaknya dalam catatan, tidak berhasil menemukannya. Tapi pada laporan akhir, tetap dilukiskan hubungan antara penculikan Prabowo sebelum Mei dan kerusuhan massal di bulan Mei.
Transkrip dan kesaksian yang disampaikan oleh Prabowo dan Syafrie
kepada TGPF tentang kegiatan mereka antara tanggal 12-14 Mei menyebutkan
informasi yang sama dari yang mereka katakan pada saya selama hampir 20
bulan kemudian. Hampir semua anggota TGPF yang saya temui menolak bahwa
telah terjadi adanya campur tangan dari luar yang mempengaruhi
penyelidikan. Beberapa anggota mengatakan bahwa mereka tidak terpengaruh
oleh prasangka mereka sendiri atau tentang rumor keterkaitan Prabowo
dengan kerusuhan.
Tanggal 12 Oktober 1998, TGPF memanggil KSAD Subagyo dalam
kapasitasnya sebagai ketua Dewan Kehormatan Perwira yang menyelidiki
Prabowo. Dalam transkrip, anggota tim meminta Subagyo mencari hubungan
antara hilangnya empat aktivis pada puncak kerusuhan dengan penculikan
para aktivis yang terjadi sebelumnya. Tetapi Subagyo, setidaknya dalam
catatan, tidak berhasil menemukannya. Tapi pada laporan akhir, tetap
dilukiskan hubungan antara penculikan Prabowo sebelum Mei dan kerusuhan
massal di bulan Mei.
Ketua Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KONTRAS), Munir,
tidak melihat adanya suatu hubungan. “Pada bulan Mei, saya melihat
adanya pergerakan di dalam elit politik yang mendorong berubahnya
situasi politik,” katanya. “Ini berbeda dengan penculikan-penculikan,
yang merupakan sebuah konspirasi untuk mempertahankan sistem.”
Salah satu anggota TGPF, I Made Gelgel, melihat masalah ini adalah
dari cara menafsirkarmya. “Itu tidak masuk akal,” katanya. “Di satu sisi
Pra-bowo ingin melindungi kekuasaan mertuanya, dan pada sisi lainnya
merancang kerusuhan.”
KUDETA
Pada 30 Juni 1998, Habibie mengatakan Prabowo telah menekannya.
Menurut Hartono Mardjono, Habibie menerima laporan dari ajudannya,
Letjen Sintong Panjaitan, bahwa kediaman Habibie telah dikepung oleh
pasukan Kostrad dan Kopassus. Menurut Presiden Habibie, Panjaitan telah
menyelamatkan keluarganya dengan menerbangkan mereka ke Istana Negara.
Mardjono mengatakan bahwa dia keberatan dengan cerita Habibie. Dia
berkata, mustahil Prabowo akan menyerang Habibie sejak dipastikan hari
jatuhnya Soeharto.
Habibie menceritakan cerita yang sama pada Sunday Times yang terbit
di London, “Rumah saya telah dikelilingi oleh dua kelompok pasukan,”
katanya dalam sebuah wawancara yang diterbitkan tanggal 8 November 1998,
bahwa, “pasukan pertama adalah pengawal reguler yang bertanggung jawab
kepada Jenderal Wiranto, yang diperintahkan berpatroli melindungi saya,
dan satunya lagi pasukan Kostrad yang bertanggung jawab pada Prabowo.”
Inti permasalahan semua versi cerita Habibie adalah bahwa pasukan yang melindungi kediamannya diperintahkan untuk berada di sana tidak oleh Prabowo, tetapi oleh Wiranto.
Pada 15 Februari 1999, Habibie berkata di depan sekumpulan jurnalis
Asia dan Jerman di Jakarta: “Pasukan-pasukan itu atas perintah seseorang
yang namanya tidak akan saya sembunyikan, Jenderal Prabowo, berpusat di
beberapa tempat, termasuk rumah saya.” Pada waktu itu Habibie
mengindikasikan bahwa Wiranto telah melaporkan situasi tersebut
kepadanya dan melindunginya.
Inti permasalahan semua versi cerita Habibie adalah bahwa pasukan
yang melindungi kediamannya diperintahkan untuk berada di sana tidak
oleh Prabowo, tetapi oleh Wiranto. Pada briefing komando 14 Mei, Pangab
telah memerintahkan Kopassus menjaga kediaman Presiden dan Wakil
Presiden. Perintah itu ditetapkan secara tertulis pada 17 Mei kepada
perwira senior, termasuk Syafrie, Komandan Garnisun pada waktu itu, yang
menunjukkan salinan perintah itu pada saya. Dalam pernyataannya di
depan parlemen pada 23 Februari 1999, Wiranto mengatakan, “Tidak ada
percobaan kudeta.”
Prabowo yakin dirinya mampu merebut kekuasaan pada hari-hari kekacauan Mei 1998. Tapi intinya, dia tidak melakukannya. “Keputusan untuk memecat saya adalah sah,” ucap Prabowo. “Saya tahu kebanyakan pasukan saya akan mematuhi perintah saya. Tapi saya tidak ingin mereka mati karena berperang membela jabatan saya.”
Ketika saya meminta Habibie untuk menanggapi pernyataan tegas
Prabowo, ajudannya Dewi Fortuna Anwar menyampaikan pada saya, “Pak
Habibie tidak harus membuat sanggahan langsung mengenai pernyataan
Prabowo.”
Dia menyarankan untuk berbicara dengan beberapa orang, termasuk
Sintong Panjaitan, semua yang diyakini hadir tanggal 22 Mei di Istana.
Setelah mencoba berulang kali menghubungi orang-orang tersebut, saat
kisah ini dicetak pada 23 Februari, mereka tidak bersedia memberikan
komentar.
Prabowo yakin dirinya mampu merebut kekuasaan pada hari-hari
kekacauan Mei 1998. Tapi intinya, dia tidak melakukannya. “Keputusan
untuk memecat saya adalah sah,” ucap Prabowo. “Saya tahu kebanyakan
pasukan saya akan mematuhi perintah saya. Tapi saya tidak ingin mereka
mati karena berperang membela jabatan saya. Saya ingin menunjukkan bahwa
saya menempatkan kepentingan negara dan rakyat di atas diri saya. Saya
membuktikan bahwa saya adalah prajurit yang setia. Setia pada negara,
setia pada republik.”
PENCULIKAN-PENCULIKAN
Pasukan khusus yang selalu patuh pada Prabowo salah menafsirkan perintahnya tentang penangkapan para aktivis pada awal 1998.
“Orang-orang itu tidak punya keinginan bertemu langsung atau menelepon saya,” tambahnya. “Saya ingin mengatakan,” kata Prabowo. “Semua yang saya lakukan, saya lakukan dengan se-pengetahuan atasan saya, dengan izin mereka dan di bawah perintah mereka.”
Di depan Dewan Kehormatan Perwira, Prabowo mengakui “kesalahannya”,
tetapi tak dapat menolak dia hanya menjalankan perintah, sebagaimana
diketahui seluruh rekannya. Atasan Prabowo, mantan Pangab Feisal
Tandjung, dan penggantinya, Wiranto, sama-sama menolak bahwa pe-rintah
tersebut berasal dari mereka, atau dari Panglima Tertinggi Soeharto.
Prabowo menyatakan dia tidak pernah menerima secara langsung keputusan
dewan kehormatan.
Tujuan dari operasi tersebut, katanya, adalah untuk menghentikan pengeboman. “Kami ingin mencegah rangkaian teror.” Beberapa tersangka, katanya, termasuk dalam daftar buron polisi. Tapi, ia mengakui kecerobohannya dalam bertindak. … Dia mengatakan dia tidak pernah memerintahkan penyiksaan.
“Saya hanya mendengamya melalui radio,” katanya. “Orang-orang itu
tidak punya keinginan bertemu langsung atau menelepon saya,” tambahnya.
“Saya ingin mengatakan,” kata Prabowo. “Semua yang saya lakukan, saya
lakukan dengan sepengetahuan atasan saya, dengan izin mereka dan di
bawah perintah mereka. Mungkin tidak semua yang ada di rantai komando,
karena beberapa atasan saya senang bekerja langsung melompat ke bawah
beberapa level. Tetapi ini saya katakan secara kategoris.”
Tujuan dari operasi tersebut, katanya, adalah untuk menghentikan
pengeboman. “Kami ingin mencegah rangkaian teror.” Beberapa tersangka,
katanya, termasuk dalam daftar buron polisi. Tapi, ia mengakui
kecerobohannya dalam bertindak. Dia tidak pernah mengunjungi tahanan
dari para aktivis, dan memercayakan laporan petugas yang menangani
operasi tersebut. Dia mengatakan dia tidak pernah memerintahkan
penyiksaan.
Aktivis Pius Lustrilanang menyebutkan bahwa, selama di penjara, dua
aktivis lainya menceritakan padanya bahwa dituduh merencanakan memasang
bom. Anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD), Faisol Reza, salah satu
tawanan, menyangkal adanya keterlibatan partainya. “Pihak militerlah
yang menyebarkan isu bom,” katanya. “Kami cuma korban.”
Lustrilanang kemudian menjelaskan, mencegah pengeboman bukanlah
satu-satunya tujuan. Dia yakin dirinya dan rekan-rekannya diculik untuk
menghindari demonstrasi yang dicemaskan akan mengganggu jalannya Sidang
Umum MPR, Maret 1998. Prabowo mengatakan, penculikan itu adalah operasi
tunggal. “Saya curiga,” tuturnya, “Tapi pada akhirnya, hal itu masih
dalam tanggung jawab saya.”
“Dia berpikir dirinya orang dalam, padahal dia consummate outsider,” tutur sejarawan Amerika, Daniel Lev. Pendidikan luar negerinya membawanya pada persepsi Barat, yang dalam hal politik membuatnya bertentangan dengan keluarga Soeharto dan angkatan bersenjata. Bahkan identitas muslimnya dianggap kurang kental oleh kelompok radikal yang bersekutu dengannya.
Menurut KONTRAS, setidaknya selusin aktivis masih hilang.
Lustrilanang mengatakan bahwa sedikitnya tiga di antara mereka pernah
ditahan bersamanya. Prabowo terkejut dengan fakta ini, dan dia
menambahkan tidak mengetahui nasib mereka yang hilang. Dia tetap enggan
mengungkapkan identitas yang memberi perintah.
ORANG LUAR YANG JADI TUMBAL
Keterlibatan Prabowo dalam penculikan dan dukungannya untuk Habibie
mungkin membuatnya tamat, baik di mata publik maupun di mata Soeharto.
Tetapi kesetiaanya pada kedua Presiden dan Wakil Presiden dapat menjadi
bukti kuat yang melawan pernyataan bahwa dia merancang kerusuhan atau
kudeta, yang akan membahayakan keduanya, baik Presiden Soeharto maupun
Presiden Habibie. Pertanyaannya kemudian bukanlah “mengapa Prabowo
berbalik melawan mertuanya, dan Habibie—sahabatnya”; pertanyaannya
justru, “mengapa mereka berdua, Soeharto dan Habibie, malah kemudian
berbalik melawan Prabowo”.
Bagi kaum konservatif, Prabowo dianggap menuntut terlalu banyak perubahan. Sedangkan bagi rezim yang berkuasa, dia nampak terlalu reformis. Jika dia memegang kekuasaan, sepertinya dia sebagai menantu Soeharto akan meneruskan kesinambungan kepentingan rezim. Singkatnya, ia tidak berada pada tempat yang tepat, juga tidak berada pada waktu yang tepat.
Salah satu alasannya adalah posisi Prabowo. “Dia berpikir dirinya
orang dalam, padahal dia consummate outsider,” tutur sejarawan Amerika,
Daniel Lev. Pendidikan luar negerinya membawanya pada persepsi Barat,
yang dalam hal politik membuatnya bertentangan dengan keluarga Soeharto
dan angkatan bersenjata. Bahkan identitas muslimnya dianggap kurang
kental oleh kelompok radikal yang bersekutu dengannya.
Bagi kaum konservatif, Prabowo dianggap menuntut terlalu banyak
perubahan. Sedangkan bagi rezim yang berkuasa, dia nampak terlalu
reformis. Jika dia memegang kekuasaan, sepertinya dia sebagai menantu
Soeharto akan meneruskan kesinambungan kepentingan rezim. Singkatnya, ia
tidak berada pada tempat yang tepat, juga tidak berada pada waktu yang
tepat.
Faktor lain adalah reputasinya, entah itu sesuatu yang nyata, mitos,
atau direkayasa. Reputasi itu mungkin menuntun beberapa anggota TGPF
untuk mempercayai satu teori tertentu mengenai kerusuhan. Reputasinya
itu memungkinkan munculnya kesalahpahaman mengenai penjagaan di sekitar
kediaman Habibie. Reputasi Prabowo itu juga yang masih mengaitkannya
dengan berbagai kekerasan di Indonesia, seperti kerusuhan yang berlanjut
di Maluku.
Ada beberapa penjelasan yang mudah. Walaupun penjelasan yang lain
terasa dipaksakan. Setelah Mei, Wiranto dijuluki “pro-reformasi”,
“tentara profesional”, seseorang yang akan “mengawal tiap inci negaranya
menuju demokrasi”. Suatu saat, ia lebih populer daripada Habibie, dan
memiliki peluang bersaing merebut jabatan kepresidenan, sekalipun
dikenal sangat loyal kepada Soeharto. Bagaimana bisa dia bekerjasama
dengan lawan seperti ini? Pertanyaan lain: mengapa Wiranto memaksa
membawa jajaran pimpinan senior muter ke Jawa Timur pada 14 Mei? Siapa
yang bertanggung jawab untuk “pernyataan kesetiaan” militer tentang
Soeharto? Mengapa dia menyuruh mahasiswa masuk parlemen dan membiarkan
mereka mendudukinya sampai jatuhnya Soeharto?
Prabowo mengaku versi ceritanya benar, tidak kurang dan tidak lebih.
Kejadian yang sama mungkin berbeda dilihat dari sudut pandang pihak
lain: Soeharto, Habibie, anak-anak Soeharto, Wiranto.
“Saya harus sangat adil,” kata Prabowo tentang Wiranto. “Dia
menginginkan reformasi, tetapi dia juga punya ambisi politik.” Dari
sudut pandangnya sendiri, dirinya setia. Dari sudut pandang pihak lain,
tindakannya dapat terlihat seperti rival yang mematikan, seorang
pengkhianat, seorang konspirator. Saling curiga, bingung, dan salah
pengertian sudah semestinya memiliki peranan dalam drama Mei 1998.
Setiap pemain kunci mungkin berpikir pihak lain akan mengkhianatinya.
Jika politik Indonesia disamakan dengan pertunjukan wayang, setiap
pe-main sangat mungkin ketakutan oleh bayang-bayang pengkhianatan yang
lain.
“Setelah TGPF,” Munir dari KONTRAS menekankan, “apa yang berkembang adalah tak mungkin menuduh Wiranto bertanggung jawab, walaupun dalam hirarki dialah yang ada di puncak. Ini adalah kemenangan politik Wiranto untuk meraih tiket menuju rezim baru, padahal dirinya bagian tak terpisahkan dari rezim lama yang tumbang.”
Seseorang mungkin masih dapat menemukan plot dan kontra-plot. Tetapi
untuk melihat lebih dari sekadar konspirasi, kita perlu memilah
kebenaran-kebenaran yang kompleks dari bumbu-bumbu fiksi yang membuatnya
jadi terlihat lebih menarik.
Apapun fakta di balik kerusuhan, cerita yang benar dan bisa
dibuktikan akan bermanfaat. “Setelah TGPF,” Munir dari KONTRAS
menekankan, “apa yang berkembang adalah tak mungkin menuduh Wiranto
bertanggung jawab, walaupun dalam hirarki dialah yang ada di puncak. Ini
adalah kemenangan politik Wiranto untuk meraih tiket menuju rezim baru,
padahal dirinya bagian tak terpisahkan dari rezim lama yang tumbang.”
Akankah konsolidasi militer Wiranto dan kebangkitannya di bidang politik menjadi sesuatu yang mungkin tanpa berakhirnya Prabowo?
Bayangan bahwa Prabowo merupakan dalang di balik berbagai kerusuhan,
penculikan, dan penyalahgunaan kekuasaan di berbagai bidang, semuanya
kebanyakan muncul setelah Soeharto tumbang. Bisa dikatakan, semua stigma
yang melekat pada diri Prabowo itu sebenarnya telah menyelamatkan
posisi banyak orang dari rezim lama yang telah tumbang tadi.
“Dia seharusnya tak menjadi satu-satunya orang yang dipersalahkan
untuk semua hal,” kata Jaksa Agung Marzuki Darusman kepada Asiaweek.
“Dia sekadar sasaran yang empuk.” Tapi itulah yang terjadi. Dengan
dikambing-hitamkannya Prabowo, tidak seorangpun kemudian akan berusaha
mencari tersangka lain, atau menuntut jatuhnya karir perwira lainnya.
Tak seorangpun akan balas dendam terhadap orang-orang yang masih hilang.
Tak seorangpun memerlukan pengakuan bersalah. Sejauh ada cukup
kepercayaan bahwa masalah seseorang akan lenyap bila ada pihak lain,
baik perorangan maupun kelompok, yang dapat dipersalahkan dan ke-mudian
disingkirkan. (Dengan reportase tambahan oleh Arif Mustolih, Jakarta)
by. Soedoetpandang http://soedoetpandang.wordpress.com/2014/03/27/prabowo-kambing-hitam-1998/
*) Tulisan ini merupakan terjemahan dari laporan investigasi yang ditulis Majalah Asiaweek No. 8/Vol. 26, 3 March 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar